Desa Puuwulu adalah desa transmigrasi yang seluruh warganya bekas pengungsi korban konflik Maluku. Mereka mengungsi setelah pecahnya perang berdimensi agama di wilayah negeri ambon manise tersebut. Posisi desa yang berada di pesisir menjadikan masyarakat hidup sebagai nelayan. Saat hadir warga diberi tanah dan rumah, warga juga mendapat bantuan makanan dan sarana alat tangkap ikan, seperti perahu, jaring dan mesin tempel.
Sayang tak semua warga pengungsi bertahan hidup di desa ini, sebagian besar dari mereka memilih kembali ke Ambon seiring situasi yang sudah kondusif. Bagi mereka yang memilih bertahan jumlah tidak terlalu banyak diperkirakan tersisa 50 KK, mereka hidup dengan kondisi ekonomi yang terbatas, kurangnya pengetahuan warga tentang kegiatan nelayan diduga menjadi masalah karena bantuan peralatan yang diberikan pemerintah banyak yang tak digunakan. Begitu pula, masyarakat tidak punya keahlian di bidang pertanian padahal faktanya tanah di puuwulu cukup baik untuk budidaya perkebunan.
Sebenarnya, desa yang terletak di pinggir pantai ini memiliki potensi sumber daya alam yang tak kalah dari daerah lain di Wawonii, yakni, mengandung tambang pasir kwarsa yang belum dijamah hingga kini. Luas areal diperkirakan mencapai puluhan hektar. Di atas hamparan pasir kwarsa, tumbuh potensi lain berupa tumbuhan bernama kolosua. Bunga kolosua tumbuh dalam koloni besar dalam hamparan lahan luas mirip padang ilalang dengan bentuk batang tumbuh tegak lurus.
Sejak lama, tumbuhan bunga kolosua oleh warga dimanfaatkan untuk membuat kerajinan handycraf berupa tikar alas. Jauh sebelum puuwulu mekar, warga di sepanjang pesisir, seperti Batumea hingga ke kawasan Lampeapi menjadikan kolosua sebagai bahan membuat tikar. Warga membuat kerajinan tikar di saat musim panen belum tiba dan biasanya warga bekerja berkelompok Hasil kerajinan ada yang digunakan sendiri serta ada pula yang dijual kepada warga di desa-desa lainnya.
Pertama kali menginjakkan kaki di desa ini, tahun 2015 silam, Saya masih menemukan kondisi infrastruktur desa yang masih serba terbatas. Salah satunya adalah fasilitas rumah ibadah Masjid Al Amin berdiri tepat di pinggir jalan desa yang penuh lubang. Kondisi bangunannya memprihatinkan. Bagian-bagian bangunan yang seluruhnya terbuat dari bahan ramuan kayu itu sudah mengalami pelapukan. Bahkan, tiang utama penyangga gedung sudah nyaris roboh. Karena kondisinya yang memprihatinkan itu, warga urung beribadah di masjid itu.
Kondisi yang sama terjadi pada bangunan balai desa yang terletak beberapa meter dari masjid Al Amin. Setengah dinding bangunan yang terbuat dari kayu nampak kotor dan kusam, akibat sudah lama tak digunakan pemerintah setempat.
Kita dapat merasakan aroma kehidupan masyarakat yang serba terbatas dan kian terasa saat masuk jauh ke polosok pesisir Kecamatan Wawonii Tengah ini. Tercermin dari kehidupan sehari-hari warga, rumah-rumah penduduk terbangun seadanya. Hanya ada sedikit rumah berbahan semen, sisanya lebih banyak rumah berbahan ramuan kayu.
Mengacu definisi penduduk miskin, maka desa Puuwulu dapat didefinisikan sebagai penduduk yang pendapatannya kurang dari kebutuhan yang diperlukan untuk hidup secara layak di wilayah tempat tinggalnya. Pun dengan kecukupan pengeluaran konsumsi makanan warga yang rata-rata sebesar Rp 20.000 per hari. Hasil penelitian menujukkan sumber pendapatan ekonomi masyakarat sangat tidak menentu. Pendapatan perkapita penduduk di bawah angka rata-rata kehidupan layak masyarakat pada umumnya.
Pasalnya, warga yang mayoritas nelayan tidak benar-benar menjelma menjadi nelayan yang sesungguhnya. Seperti diungkapkan Hamid (43 tahun), warga Desa Puuwulu, bahwa, mereka mencari ikan hanya untuk sekedar bertahan hidup. “Ikan yang kami cari hanya untuk dikonsumsi pribadi,”ujarnya.
Ada banyak kendala memayungi kehidupan warga nelayan Puuwulu, salah satunya minimnya peralatan tangkap yang dimiliki. Di desa hanya ada 2 orang warga nelayan yang memiliki alat tangkap, itu pun hanya berupa sampan dan beberapa meter jaring kecil. Kondisi ini tentu berdampak pada kebutuhan hidup warga yang serba kekurangan. Urusan pendidikan dan kesehatan juga nampaknya masih belum sepenuhnya dinikmati warga agar anak-anak di desa bisa menikmati sekolah dengan baik dan mendapatkan layanan kesehatan yang memadai.
Tak hanya itu, kondisi infrastruktur seperti jalan dan jembatan juga dibutuhkan agar melancarkan distribusi barang ke desa. Awal pemekaran Wawonii, sebuah jembatan sepanjang 15 meter hanya memiliki lebar 1,5 meter sehingga hanya dapat dilalui kendaraan roda dua. Lantai jembatan yang terbuat dari kayu sudah mengalami pelapukan. Saat air laut pasang, jembatan ini tidak dapat dilalui warga terutama anak sekolah.
Jembatan ini memang memiliki arti penting bagi warga, karena merupakan jalur penghubungan antar desa, diantaranya ke desa Morobea, Batumea dan Desa Wahara yang merupakan jalur terdekat untuk mendistribusikan bahan pangan dan ekonomi warga, menuju ibu kota langara. Warga bersyukur kini jalan dan jembatan sudah diperbaiki pemerintah. ***