Bencana lingkungan kian mengancam kehidupan, tapi mengapa media masih kurang tertarik pada isu-isu lingkungan hidup? Gugatan terhadap peran media karena tidak menggali masalah lingkungan secara mendalam, memang sulit dielakkan. Dalam pemberitaan soal lingkungan hidup, media cenderung lebih menyoroti akibat dari kerusakan lingkungan seperti, banjir, air pasang, abrasi pantai, tanah longsor dan sebagainya. Sementara akar penyebab degradasi lingkungan kurang mendapat perhatian. Bahkan, kalaupun hal itu diulas, pers cenderung mengedepankan faktor alam, seperti perubahan iklim, cuaca buruk, kondisi geografi dan sebagainya. Sementara faktor manusia hanya disingung sepintas lalu.
Perhatikan saja, materi berita di media cetak maupun elektronik, problem fundamental penyebab degradasi ekologis sangat langka dijadikan prioritas agenda pemberitaan. Bahkan dalam hal ini pers cenderung lebih dominan menunjukkan sikap reaktif yang bersifat sesaat, dan bukan karakter antisipatif, terhadap persoalan lingkungan. Intensitas pemberitaan media kerap meredup ketika sudah tak ada bencana alam menerjang yang mengakibatkan korban-korban manusia berjatuhan dan harta benda mengalami kehancuran. Responsi terhadap pemanasan global, misalnya, hingga kini tampak masih kurang memperoleh perhatian bermakna dan mendalam dari sebagian besar media di lndonesia. Padahal, kehancuran ekologis pada level global memiliki dampak serius pada kerusakan lingkungan secara keseluruhan.
Ketika Green Press muncul di Sulawesi Tenggara (Sultra) sebagai wadah berhimpunnya wartawan yang konsen pada liputan-liputan lingkungan, kelompok pencinta lingkungan mulai menemukan rekan kerjanya yang pas. Pas untuk diajak berdiskusi sekaligus pas untuk ajang curhat-curhatan terhadap kondisi lingkungan di Sultra.
Selama ini, liputan lingkungan sekadar menjadi pelengkap media massa, dan bukan menjadi sebuah kebutuhan. Bahkan wartawan termasuk media baru melirik berita lingkungan manakala terjadi konflik kepentingan antara penguasa dan masyarakat. Sementara penyebab serta solusi dari konflik tersebut nyaris tak tersentuh. Akibatnya, liputan lingkungan timbul tenggelam.
Di sisi lain, wartawan dimata publik hanya berfungsi sebagai pendengar, mencatat lalu mempublikasikan di media tempat mereka bekerja. Kesan ini bahkan masih berlanjut hingga kini. Padahal, status wartawan dengan segala potensi dimiliki justru punyai nilai lebih. Nilai itu yang kemudian ditangkap Green Press selanjutnya menjadikan wartawan lebih berdaya. Wartawan tidak sekadar menulis berita, tapi mampu juga menyusun proposal sebuah kegiatan tidak hanya berskala lokal, namun regional hingga nasional.
Itulah sebabnya mengapa organisasi ini kemudian menuliskan kisah perjalanan mereka dalam buku berjudul ”Pers dan Lingkungan di Sulawesi Tenggara” ”Sebuah Inisiasi Membangun Jaringan Informasi Multipihak”. Paling tidak dari tulisan yang disajikan memberikan gambaran singkat bagaimana kerja-kerja wartawan di tengah kesibukan mereka mengejar berita untuk kepentingan medianya, namun mampu mengelolah kegiatan layaknya organisasi atau lembaga pemerintah.
Buku ini juga merupakan review dan story tentang perjalanan inisiasi para wartawan lingkungan, khususnya wartawan yang tergabung dalam organisasi Green Press dalam memberikan sumbangsih pada proses pengelolaan lingkungan hidup di Sulawesi Tenggara.
Sebuah story panjang yang penuh dengan bebagai tantangan dituangkan dari serpihan catatan diri para pelaku Green Press terhadap sebuah tahapan proses berinteraksi bersama masyarakat dan penggiat lingkungan lainnya.
Torehan kisah para wartawan yang harus bekerja dan terjun langsung mempraktekkan kerja-kerja teknis inisiasi, berupa kegiatan penguatan kapasitas melalui pelatihan jurnalistik, diskusi reguler, kegiatan reportease hunting, hingga menerbitkan buku dan film dokumenter. Sungguh kegiatan yang jauh dari kehidupan kaum jurnalistik yang selama ini hanya menjadi penulis dan penerbit sebuah artikel di media mereka.
Green Press menjadi salah satu motor pembaruan kegiatan wartawan, yang merasakan langsung perjuangan masyarakat memulai pada norma hidup yang lebih baik dan sejahtera.
Selain itu pada buku ini juga mengisahkan kegigihan perjuangan para wartawan meski harus mendapat perlakuan tidak wajar dari segelintir kelompok komunal masyarakat khususnya para “pengusaha hitam” dan terlebih lagi intimidasi dinternal pers itu sendiri, seperti dari redaktur dan Pimred di kantor mereka hanya karena mempersoalkan aktifitas mereka dalam konsen pada lingkungan hidup.
Skrip kisah ini menuangkan aktifitas alami yang telah diabadikan sebelumnya, yakni berada disejumlah lokasi, seperti rekam aktifitas pelatihan wartawan di Hotel Almaira di Jl S Parman kota Kendari. Kegiatan reportease hunting bersama rekan-rekan pena Indonesia di Taman Hutan Raya Murhum di bukit Nipa-nipa Kota Kendari, diskusi reguler di sejumlah lokasi seperti di ruang meeting MFP, di PPLH Unhalu, aula pertemuan KTPH Gunung jati, hingga Proses inisiasi mendorong kebijakan atas lingkungan contoh tentang pembahasan rancangan perda lingkungan hidup dan PSDA bekerjasama dengan LSM Lepmil dan Care International serta pembuatan Perda pengelolaan Tahura Murhum dan hutan Nangananga berbasis DAS.
Untuk proses rekam kegiatan ini Green Press telah mengambil sampel dua media harian terkemuka di Kendari yakni Kendari Pos dan Kendari Ekspres sebagai medium komunikasi rakyat. Buku ini juga mengupas perjalanan media-media di Sultra dengan beragam kiat mempertahankan persaingan bisnis serta kaitannya dengan strategi melakukan kampanye lingkungan di sulawesi tenggara. Buku ini juga menyelipkan informasi tentang kejadian-kejadian umum seputar dunia pers di Sulawesi Tenggara dalam 10 tahun terakhir. Meski masih jauh dari harapan pembaca, utamanya memberikan penggambaran masalah secara komprehensif, namun dangan pengggambaran sederhana tentang kondisi media dan cara pengelolaan media di Sulawesi Tenggara bisa tergambar sedikit demi sedikit dan dapat menambah referensi
tentang sebuah proses inisiasi kegiatan lingkungan khususnya masalah pengelolaan lingkungan di Sulawesi Tenggara dan memberi apresiasi pada wartawan untuk turut serta melakukan pelestarian lingkungan melalui pola kerja wartawan.
Peran yang sama diambil Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kendari melalui kemitraan AJI Indonesia dan Lembaga Developmet and Peace (D and P) Kanada pernah menginisiasi gerakan jurnalis dan media peduli lingkungan (Awaraness Journalist and Company Journalist for the Better Life). Melalui media monitoring sebagai salah satu programnya, diharapkan dapat membangkitkan semangat jurnalisme lingkungan dan intensitas pemberitaan media terhadap kelestarian lingkungan hidup. Hasil penelitian cukup mencengangkan dimana media massa khususnya media cetak belum memberikan perhatian serius terhadap masalah-masalah lingkungan hidup di Sulawesi Tenggara. Pelaksanaan media monitoring yang dilaksanakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Kendari berlangsung selama 4 bulan yakni Nopember 2013 hingga Februari 2014. Peneliti membutuhkan satu bulan yakni bulan Oktober 2013 untuk melakukan tahapan persiapan. Awalnya, semua media yang ada di Sulawesi Tenggara menjadi target monitoring terkait kuantitas dan kualitas pemberitaan lingkungan. Namun, dalam riset ini hanya terealisasi tiga media besar di Sultra yakni Harian Kendari Pos, Harian Rakyat Sultra, dan Media Sultra yang menjadi samplenya. Tiga media tersebut dipandang cukup kapabel menjadi sample dalam monitoring berita lingkungan ini.
Isu politik lingkungan dan ekonomi merupakan dua kutub yang saling berlawanan. Para ahli ekonomi berkeyakinan bahwa sumber daya alam diperlukan sebanyak-banyaknya untuk mengakomodasi keperluan manusia sedangkan para pemerhati lingkungan memaknai pemanfaatan sumber daya alam sesuai dengan koridor dan tingkat kecukupan akan sumberdaya sampai pada kurun waktu yang tak terhingga. Dalam kaitannya dengan kebijakan negara, berbagai instansi pemerintah baik di tingkat daerah maupun tingkat pusat belum menunjukkan komitmen bersama dalam mewujudkan pengurangan laju eksploitasi sumberdaya alam. Hal ini dapat dilihat dari berbagai sistem kerja yang tampak amburadul.
Di Sulawesi Tenggara selama kuran waktu tahun 2008 – 2015 Sultra kehilangan lebih dari setengah juta hektar kawasan hutannya akibat ekploitasi besar-besaran sector tambang dan perkebunan kelapa sawit. Dalam valuasi lingkungan dan ekonomi yang dilakukan sejumlah organisasi non pemerintah, Sulawesi Tenggara telah kehilangan keanekaragaman hayati hutan yang besar serta kehilangan triliunan rupiah dana dari sector tambang. Dan lebih ironis lagi, wilayah-wilayah yang memiliki kekayaan sector tambang cukup besar seperti tambang emas dan nikel di Kabupaten Bombana dan Kabupaten Konawe justeru dinobatkan sebagai daerah terbelakang dengan angka kemiskinan yang tinggi. Potret buram kemiskinan di daerah kaya sumber daya alam tambang ini tentu memantik dugaan banyak pihak, adanya praktik korupsi di sektor industri ekstraktif. Tak heran jika sejumlah lembaga hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadikan Sulawesi Tenggara sebagai salah satu wilayah pemantauan khusus sektor minerba.
Sebenarnya keprihatinan akan eksploitasi sumberdaya alam sudah dapat dirasakan semenjak keran investasi dibuka sebesar-besarnya oleh pemerintah daerah di Sulawesi Tenggara. Puncaknya saat pemerintah daerah kabupaten beramai-ramai memberikan Ijin Usaha Pertambangan (IUP) yang jumlahnya mencapai 498 IUP, Merujuk data Walhi Sultra, setidaknya ada kurang lebih 168 IUP yang mencaplok kawasan hutan lindung dan ada 27 IUP yang masuk di kawasan hutan konservasi. Parahnya, dari aktifitas penambangan yang dilakukan tak satu perusahaan yang melakukan usaha perbaikan lingkungan atau reklamasi. Lokasi hasil penambangan dibiarkan terbengkalai dan kini menjadi ancaman keselamatan bagi warga yang hidup di sekitar areal tambang.
Minimnya pengawasan dan penindakan terhadap aktifitas perusakan lingkungan bahkan telah menyebabkan timbulnya berbagai penyakit bahkan berujung pada kematian warga akibat aktifitas penggunaan bahan mercuri untuk emas di Kabupaten Bombana. Dalam pasal 71 ayat pertama pada UU No 32 tahun 2009 disebutkan bahwa menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Lebih lanjut dalam pasal 76 ayat pertama dijelaskan pula wewenang pejabat Negara untuk memberikan sanksi yang tegas terhadap penangung jawab usaha yang melakukan pelanggaran terhadap izin lingkungan. Dari kedua pasal di atas jelas bahwa sebenarnya dalam peraturan perundangan telah memberikan kewenangan terhadap pejabat negara untuk berwenang dalam mekanisme tindakan preventif dan kuratif terhadap setiap usaha yang berhubungan dengan izin lingkungan. Namun sampai saat ini, masih saja timbul pengrusakan terhadap lingkungan hidup. Yurisprudensi hukum menjadi dipertanyakan. Barangkali berbagai tindak korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi salah satu alasan utama sehingga penegakan hukum (law enforcement) pada sektor lingkungan hidup menjadi terkendala.
Tak hanya yang jauh di pelosok pedesaan, di ibu kota Sulawesi Tenggara, kondisi lingkungan juga mengalami degradasi. Aktfititas pembangunan yang berkedok revitalisasi yang dilakukan pemerintah provinsi Sulawesi Tengara serta hilangnya sebagian besar kawasan hutan mangrove di teluk kendari akibat praktek mafia tanah dan penguasaan lahan oleh oknum warga menjadikan ekosistem teluk dalam fase kritis. (Hasil Diskusi Reguler AJI Kendari bersama DPRD Kota Kendari dan BLH Kendari, Topik: Kehancuran Mangrove di Teluk Kendari). Di sisi lain, lemahnya penegakan hukum di bidang lingkungan semakin menambah daftar panjang ketidakberpihakan Negara pada urusan lingkungan hidup. Ini terbukti dari minimnya kasus-kasus lingkungan, seperti kasus perambahan kawasan hutan lindung dan hutan konservasi yang di bawah ke meja hijau oleh aparat penegak hukum.
Melihat kondisi yang tentu memunculkan pertanyaan besar dari publik, benarkah pengelolaan sumber daya alam untuk kepentingan rakyat? Seperti diketahui, sumber daya alam merupakan komponen utama dalam menyokong kehidupan di bumi. Hampir seluruh peradaban manusia membutuhkan sumberdaya Alam yang sifatnya terbatas. Sejarah membuktikan semakin majunya peradaban manusia, maka kebutuhan akan sumber daya alam akan semakin besar. Malthus menggambarkan perkembangan sumber daya alam khususnya bahan pangan berbanding terbalik dengan jumlah populasi manusia. Pertumbuhan manusia akan mengikuti deret hitung sedangkan perkembangan bahan pangan akan mengikuti deret ukur.
Namun dalam kenyataannya, sebagian besar sumber daya alam berupa hasil tambang banyak dikuasai oleh pemilik modal/kapital. Masyarakat sebagai konsorsium kesejahteraan tidak mendapatkan apa-apa selain berbagai permasalahan lingkungan yang berkembang khususnya yang berada di areal pertambangan. Alih-alih rakyat menikmati kesejahteraan, justeru kenyataannya rakyat khsusunya kaum perempuan di pedesaan menjadi penerima dampak besar dari kerusakan lingkungan akibat tambang. Kaum perempuan kehilangan sumber-sumber ekonomi mereka, karena lahan tempat mereka menanam aneka bahan pangan local kini telah hilang diambil perusahaan. Akibatnya, banyak kaum perempuan terpaksa beralih menjadi buruh kasar di perusahaan-perusahaan tambang dan perkebunan sawit. (Diskusi AJI Kendari bersama aktifis perempuan Sultra; Topik : Peran Perempuan dalam PSDA)
Ketidakberadayaan rakyat membendung laju investasi semakin diperparah dengan meningkatnya praktik pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan aparat negara yang sangat dominan di terjadi wilayah-wilayah yang dilalui perusahaan tambang dan perkebunan sawit. Tak sedikit dari masyarakat yang kritis justeru dikriminalisasi dan harus dibawa ke meja hijau. tambang (Hasil diskusi AJI Kendari bersama Kontras dan Walhi Sultra, Topik: Keterlibatan Aparat Negara dalam Bisnis dan HAM SDA di Sultra).
Mencermati problematika lingkungan yang kian memprihatinkan, maka dibutuhkan peran pengawasan dari publik, salah satunya peran pers untuk terus menyuarakan isu-isu lingkungan di media massa. Riset AJI Kota Kendari medio november 2014 – Agustus 2015 terhadap pemberitaan isu lingkungan di Sulawesi Tenggara menunjukkan bahwa materi berita di media cetak maupun elektronik telah memberikan ruang yang cukup dalam penerbitan berita lingkungan yang baik, dimana setiap hari, minimal terdapat 1 hingga 2 item berita lingkungan yang diterbitkan. Untuk partisipasi publik menulis isu-isu lingkungan dinilai masih minim padahal halaman opini telah disiapkan media massa. Di Sultra, banyak aktifis NGO dan para akademisi yang selama memberi perhatian terhadap isu-isu lingkungan belum mamanfaatkan kolom-kolom opini media massa untuk tulisan penulisan masalah lingkungan. Harian Kendari Pos misalnya hanya memuat dua opini lingkungan setiap bulan. Sedangkan Harian Rakyat Sultra tidak memuat satu pun opinis setiap bulannya, padahal media ini 24 kali terbit dalam sebulan. Sementara dua media lainnya, yakni Harian Berita Kota Kendari hanya memuat dua opini dalam setiap dua bulan dan Harian Baubau Post hanya memuat 1 opini. Bagi AJI Kota Kendari upaya mendorong kebebasan berekpresi para penggiat lingkungan untuk terus menulis menjadi perhatian tersendiri, sekaligus menjadi point strategis yang harus terus diupayakan, termasuk berkolaborasi melalui kegiatan diskusi publik ini. SK