YLBHI turut berduka cita atas meninggalnya anak-anak korban gagal ginjal akut, semoga orang tua para korban diberi ketabahan dan masyarakat tetap menerapkan pola hidup sehat.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indinesia (YLBHI) memantau perkembangan lonjakan kasus akibat Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal yang saat ini menurut data Kementerian Kesehatan telah dialami 206 anak serta telah merenggut 99 nyawa anak di Indonesia. Dengan ini kami menghimbau kepada Negara untuk melaksanakan tugas konstitusionalnya dengan memaksimalkan sumber daya secara maksimum untuk menjamin keselamatan warga negara atas peristiwa ini.
Menyikapi masalah ini, YLBHI mengingatkan agar Pemerintah mesti berkaca pada peristiwa Pandemik Covid-19, lambannya respon Pemerintah telah menelan banyak korban. Sama halnya dengan kasus gangguan ginjal akut, jika Pemerintah tidak sungguh-sungguh menangani kasus ini maka tidak menutup kemungkinan peristiwa kelam Pandemi Covid-19 kembali terulang.
Berdasarkan hasil penelusuran media yang kami lakukan, kasus gagal ginjal akut ini mulai muncul sejak bulan Juli 2022 namun sayangnya Pemerintah baru merespon di akhir Oktober 2022. Dalam hal ini, YLBHI menilai Pemerintah lambat merespon kasus tersebut sehingga situasi ini membahayakan keberlangsungan hidup bagi anak.
YLBHI juga mengingatkan pemerintah untuk mengedepankan prinsip kehati-hatian agar penanganannya tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) khususnya terhadap anak. Oleh karena korban dalam kasus ini adalah kategori anak sebagai kelompok rentan, maka penanganannya harus memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. Sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 1 angka 12 Jo. Pasal 4 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo. UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 23 Tahun 2002 Jo. UU No. 17 Tahun 2016 tentang PERPPU No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua UU No. 23 Tahun 2002 (selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak), dinyatakan bahwa: _“Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Dan setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang…….”_
Sementara itu, respon Kemenkes melalui surat edaran kepada seluruh layanan Faskes untuk tidak meresepkan obat dalam bentuk cair/sirup tanpa menyiapkan alternatif obat justru berpotensi melanggar hak-hak kesehatan bagi anak berupa hilangnya akses memperoleh obat-obatan. Dalam situasi ini, Pemerintah seharusnya mengambil langkah perlindungan komprehensif bagi anak, yang meliputi pencegahan yang efektif dengan tidak sebatas larangan namun juga menyiapkan alternatif obat, melakukan rehabilitasi terhadap korban anak yang terindikasi mengalami dampak, memposisikan kasus ini sebagai prioritas dengan memaksimalkan seluruh layanan dan fasilitas kesehatan. Tidak kalah penting, Pemerintah agar memaksimalkan peran serta masyarakat dalam penanganan kasus ini oleh karena tanggung jawab terhadap perlindungan anak bukan hanya di tangan Pemerintah melainkan ada pada orang tua, keluarga dan masyarakat. Ketentuan Pasal 44 Ayat (1) UU Perlindungan Anak menyatakan bahwa: _“Pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan.”_ Hal yang sama juga diatur dalam ketentuan Pasal 15, 16 dan 17 UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Di sisi lain, kami menyayangkan lemahnya fungsi pengawasan dari Pemerintah dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Pemerintah berdasarkan kewenangannya perlu segera melakukan penyelidikan terhadap perusahaan-perusahaan farmasi produsen dan penyedia jenis obat cair/sirup yang diduga mengandung Etilen Glikol dan Dietilen Glikol. Jika ditemukan adanya pelanggaran hukum, maka Pemerintah harus mengambil tindakan tegas berupa tindakan administratif pencabutan izin sementara atau izin tetap sesuai ketentuan Pasal 188 Ayat (3) UU Kesehatan dan diteruskan ke tahap Pro Justitia berdasarkan ketentuan Pasal 196 UU Kesehatan, yang menyatakan bahwa: _“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu dapat dipidana dengan penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).”_ Selain itu, keluarga korban juga dapat menuntut ganti rugi materiil maupun non-materiil terhadap perusahaan produsen dan penyedia obat cair/sirup dan kepada Pemerintah karena kelalaiannya melakukan pengawasan sehingga menyebabkan hilangnya nyawa warga negara.
“Berdasarkan hal-hal di atas, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mendesak kepada Pemerintah untuk segera mengambil tindakan perlindungan yang komprehensif berupa pencegahan efektif, rehabilitasi korban yang terindikasi mengalami dampak, memprioritaskan seluruh layanan dan fasilitas kesehatan untuk kasus ini serta melibatkan peran serta orang tua, keluarga dan masyarakat,”Pengurus YLBHI dalam pernyataan tertulisnya.
YLBHI juga mendesak pemerintah segera menyiapkan alternatif obat bagi anak selain obat sirup/cair
Dan segera melakukan penyelidikan terhadap perusahaan-perusahaan produsen dan penyedia obat cair/sirup yang diduga mengandung Etilen Glikol dan Dietilen Glikol. Sk