Historia

Mereka Memilih Bertani Ketimbang Nelayan

×

Mereka Memilih Bertani Ketimbang Nelayan

Sebarkan artikel ini

Langkahnya penuh hati-hati saat melewati jalan licin menanjak. Diujung tanjakan perempuan parubaya ituberhenti mengatur napas yang sedari tadi mulai tersengal. Dengan kain sarung yang disampir di kepala, Ia menyeka keringat yang mulai bermunculan di dahinya. Tugas berat mendorong Artco berisi bibit cengkeh selalu akrab dan menjadi pembuka hari bagi Sumarni. Bersama rekannya, perempuan beranak empat itu harus bolak balik mendorong arco berisi bibit sejauh dua ratus meter.

Sumarni mengaku mengambil bibit cengkeh dari lokasi persemaian yang terletak di ujung desa. Areal pembibitan cengkeh tersebut milik salah satu warga setempat. Bibit yang dibeli dengan harga Rp 2000 per pohon sudah disimpan dalam polibag dan selanjutnya akan di tanam di lahan milik mereka.

“Tak hanya bibit cengkeh yang di tanam, ada juga bibit pala, rambutan,”kata Sumarni, sembari menunjuk lokasi bibit persemaian di desanya.

Di lahan milik Sumarni setidaknya sudah ada lebih dari seribu pohon cengkeh yang tumbuh. Bahkan sebagian telah berkali-kali dipanen. Cengkeh di tanah selus dua hektar itu adalah warisan orang tuanya dan kini terus dirawatnya. Cengkeh, pala dan jambu mete menjadi komoditi andalan warga desa, terbukti di seluruh lahan warga, kedua komoditi pertanian ini menjadi andalan.

Sejak lama Desa Batumea yang berpenduduk kurang lebih 160 KK ini sudah mengenal pola pertanian. Bagi penduduk desa dari generasi ke generasi, hasil perkebunan adalah tempat bergantung, penyokong berbagai sendi kehidupan. sebagian besar masyarakat yang tergantung dari perkebunan menggabungkan kegiatan berladang dan berkebun dengan memancing ikan di laut dan mengumpulkan berbagai jenis produk hasil pertanian.

Pantai Desa Batumea. foto: Joss

Desa batumea tak hanya kaya potensi pertanian tetapi juga potensi perairan laut. Sayangnya di desa ini minim orang yang berprofesi sebagai nelayan, karena warga lebih memilih bertani ketimbang melaut. “Kendati ada yang melaut itu pun hanya terbatas sebagai nelayan musiman, nelayan yang hanya memenuhi kebutuhan makan sehari-hari,”kata Sumarni. Padahal hasil ikan perairan wawonii sangat melimpah.

Posisi desa ini berada cukup dekat dengan laut, namun tanah desa cukup subur untuk lahan pertanian. Terbukti tanaman yang tumbuh cukup bervariasi, diantaranya, komoditi jambu mete, cengkeh, pala, kelapa. Selain itu tumbuh subur aneka pohon buah-buahan, antara lain; pisang, rambutan, langsat dan kedondong. Setiap warga memiliki perkebunan cengkeh dan jambu mete sendiri yang luasnya bervariasi, antara 1-3 Hektar.

Masyarakat petani umumnya mengelola dan memanfaatkan hasil alam sesuai kebutuhan. Ada kelompok masyarakat yang menggunakannya untuk keperluan subsisten, dikonsumsi sendiri. Masyarakat yang tinggal di wawonii tengah misalnya, memanfaatkan laut mereka sebagai sumber protein untuk kebutuhan sehari-hari, sekaligus dijual. Begitu pula memanfaatkan hasil bumi sebagai kebutuhan pangan sekaligus di jual untuk kelangsungan hidup dalam jangka panjang.

Jalur Perdagangan

Menjangkau Desa Batumea tidaklah susah, karena sarana transportasi kapal setiap hari beroperasi secara teratur, baik yang akan ke kota kendari maupun yang akan ke desa batumea. Pelabuhan rakyat yang berada di wilayah administrasi Desa Puuwulu menjadi lokasi persinggahan warga yang hendak ke berbagai desa di wilayah Lampeapi, termasuk ke Desa Batumea.

Sejak dulu, perairan laut wawonii tengah tepatnya di Desa Batumea merupakan jalur strategis untuk pelayaran, baik ke Kota Kendari, Konawe Selatan, Buton Utara dan Baubau. Tak heran jika perairan wawonii tengah setiap hari dilalui kapal berbagai ukuran. Posisinya yang strategis dengan sendirinya ikut memudahkan distribusi hasil bumi dari pelosok pedesaan pulau wawonii ke berbagai daerah seperti Kendari. Posisi yang strategis ini membuat Desa Batumea menjadi jalur sutra ekonomi di wawonii tengah.

Secara adminstratif, Desa Batumea masuk dalam wilayah Kecamatan Wawoii Tengah dan lokasinya berada di pinggir pantai, yang lokasinya berhadapan langsung dengan tanjung Peropa, Kabupaten Konawe Selatan. Tak heran banyak warga Batumea melakukan perdagangan antar pulau dan membawa hasil bumi mereka melalui jalur laut selanjutnya melalui darat menuju Kecamatan Moramo dan Kabupaten Buton Utara.

Berkah dari pemekaran dan masuknya berbagai program pembangunan pedesaan melalui dana desa telah dirasakan manfaatnya oleh warga. Apalagi pemerintah kabupaten telah membuka akses jalan lingkar yang menghubungkan antara wilayah pedesaan. Begitu pula kebutuhan akan air sudah tersedia melalui air PAM milik desa. Meski begitu sebagian besar warga masih mengandalkan air sumur (sumur tanah).

Warga juga sudah menikmati sarana listrik selama 12 jam (pukul 06 sore- 06 pagi) serta bahan bakar gas elpiji. Begitu juga, warga Batuamea juga sudah menikmati siaran televise dan telepon seluler. Nah untuk sarana telekomunikasi adalah paling diharapkan warga demi mengetahui perkembangan harga pasar di luar sana, apalagi tak dapat dipungkiri saat ini kebutuhan informasi dan data sangat penting demi kemajuan ekonomi desa.

Cerita warga. dulu sebelum ada sarana telekomunikasi, warga hanya mengandalkan informasi manual dari orang-orang yang datang dari kota kendari yang kebanyakan dari mereka sebagai papalele atau pengumpul hasil bumi. Itu pun informasinya banyak yang hoaks alias bohong sehingga warga terpaksa menjual murah hasil bumi mereka. Kini seiring kemajuan informasi warga yang mayoritas petani telah dapat berdaulat harga, sehingga para pembeli yang datang tidak lagi dapat berbohong dan harus bertransaksi secara jujur.

Kebutuhan lain warga adalah soal kejelasan status tanah dan berkeinginan memiliki sertifikat lahan karena selama ini warga memiliki tanah dan kebun tanpa alas hak yang kuat. SK

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *