Tempat yang dahulu pernah menjadi lokasi ‘ngopi’ yang ternikmat di pinggiran Kendari adalah Kecamatan Soropia. Daerah yang berbatas dengan kota kendari ini sejak lama dikenal sebagai lokasi tempat tumbuhnya tanaman kopi local. Jika Anda berkunjung maka dapat dengan mudah dijumpai tanaman kopi tumbuh di halaman belakang rumah warga, meski jumlahnya tak seberapa luas. Sebagian warga menanam untuk memenuhi kebutuhan sendiri, sebagian lagi untuk dijual ke pengumpul kopi yang datang.
Secara geografis, wilayah soropia berada di wilayah pesisir dan di kelilingi oleh perbukitan yang cocok untuk tumbuhnya berbagai jenis tanaman jangka panjang, termasuk tumbuhan kopi. Saya mencoba menggali jejak tumbuhan kopi di daerah ini. Dari cerita warga local, tumbuhan kopi paling banyak tumbuh di wilayah Lalonggasumeeto dan desa waworaha. Di lalonggasumeeto sendiri hanya ada beberapa jenis tanaman yang dikenal luas yakni, mangga, asam dan kopi. Sedangkan di Desa woworaha, jenis tanaman yang paling menonjol adalah mangga, kakao dan kopi.
Zulkarnain Alaeka (42 tahun) masih mengingat dengan jelas masa kecil Ia lalui di Soropia. Kala itu Ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Bersama ibunya, Zul kecil menghabiskan hari-harinya diberanda belakang rumahnya membuat kopi bubuk. “Sepulang sekolah, Saya membantu ibu membuat kopi secara tradisional,”kenangnya.
Proses memproduksi kopi hampir setiap pekan dilakoni, dari memetik, menumbuk dengan alu/antan, memisahkan biji dan kulit, menjemur, menyangrai, menggiling hingga mengayak kopi. Zulkarnain mengaku biji kopi diperoleh dari pohon-pohon kopi yang tumbuh subur di halaman belakang rumahnya. “Saya tidak pernah takut memanjat pohon kopi, selain pohonnya tidak seberapa tinggi, juga karena batangnya yang keras dan kuat,”ujarnya.
Bagi Naim, kopi memberi tempat dalam hidupnya, merekam banyak kenangan indah di masa lalu terkhusus untuk keluarga besarnya. Kopi mengingatkannya akan keteladanan seorang ibu yang sangat disayanginya.
“Kopi adalah kenangan bagi keluarga saya. Saya kagum dengan ibu. Beliau adalah tipe ibu yang betul-betul berbakti pada suami dan menyayangi anak-anaknya. Baktinya itu tunjukkan dari membuat kopi untuk keluarga Kami sepajang hidupnya,”terang Naim.
Naim juga tidak heran jika memproduksi kopi memang membutuhkan perlakuan ekstra. “Tidak sembarang memproduksi kopi, tempatnya harus bersih dan kering. “Saya ingat ibu sering melarang Kami mendekat saat beliau memproduksi kopi, dan sangat pantang jika kami berkeringat atau ada air di tubuh kami. Saya baru tau kalau air dan keringat yang jatuh ke kopi akan mempengaruhi kualitas produksi, terutama soal rasa,”ujarya, sembari tersenyum.
Pria yang kini menetap di Kendari ini mengaku jika keluarganya masih menyimpan koleksi peralatan produksi kopi tradisional, seperti antan /alu yang terbuat dari batu. Ia juga mengaku pernah menyaksikan alat penggiling kopi yang terbuat dari silinder yang berfungsi sebagai pemecah biji kopi yang sudah disangrai. Sedangkan untuk alat penghalus jamak digunakan ayakan yang berukuran presisi sangat rendah.
Entah mengapa saya selalu suka mendengarkan cerita yang berkait kopi. Seperti cerita dalam film filosofi kopi ternyata ada banyak kenangan di sana. SK