Notice: Fungsi register_block_script_handle ditulis secara tidak benar. Berkas aset untuk "/var/www/suarakendari.com/html/wp-content/plugins/seo-by-rank-math/includes/modules/schema/blocks/faq/assets/js/index.asset.php" yang dijelaskan dalam definisi blok"editorScript" tidak ditemukan. Silakan lihat Debugging di WordPress untuk informasi lebih lanjut. (Pesan ini ditambahkan pada versi 5.5.0.) in /var/www/suarakendari.com/html/wp-includes/functions.php on line 6031

Notice: Fungsi register_block_script_handle ditulis secara tidak benar. Berkas aset untuk "/var/www/suarakendari.com/html/wp-content/plugins/seo-by-rank-math/includes/modules/schema/blocks/howto/assets/js/index.asset.php" yang dijelaskan dalam definisi blok"editorScript" tidak ditemukan. Silakan lihat Debugging di WordPress untuk informasi lebih lanjut. (Pesan ini ditambahkan pada versi 5.5.0.) in /var/www/suarakendari.com/html/wp-includes/functions.php on line 6031

Notice: Fungsi register_block_script_handle ditulis secara tidak benar. Berkas aset untuk "/var/www/suarakendari.com/html/wp-content/plugins/seo-by-rank-math/includes/modules/schema/blocks/schema/assets/js/index.asset.php" yang dijelaskan dalam definisi blok"editorScript" tidak ditemukan. Silakan lihat Debugging di WordPress untuk informasi lebih lanjut. (Pesan ini ditambahkan pada versi 5.5.0.) in /var/www/suarakendari.com/html/wp-includes/functions.php on line 6031
Jadi Buruh di Tanah Sendiri - Suarakendari.com
Historia

Jadi Buruh di Tanah Sendiri

×

Jadi Buruh di Tanah Sendiri

Sebarkan artikel ini

Alih fungsi lahan perkebunan warga menjadi perkebunan kelapa sawit telah membuat sebagian besar warga Desa Puuloro kehilangan mata pencaharian. Adapun lahan-lahan yang tersisa dan dapat dikelola tinggal sebagian kecil dan sangat sulit berkembang.

Disamping karena dampak dari pencemaran akibat pembukaan lahan hutan berskala besar, juga karena kerusakan ekosistem hutan di Desa Puuloro mengakibatkan berbagai satwa-satwa liar masuk ke kebun warga dan merusak tanaman milik warga. Bahkan tidak hanya itu, kehadiran korporasi perkebunan sawit di Desa Puuloro telah merubah tatanan dan nilai-nilai sosial yang selama ini dipegang teguh oleh masyarakat Desa Puuloro. Khususnya budaya kerja gotong royong yang penuh dengan semangat kekeluargaan yang telah berubah menjadi hubungan kerja produksi upahan.

Pada akhirnya kondisi ini kemudian memaksa sebagian besar warga untuk mencari penghidupan yang lain. Sebagian dari mereka yang kehilangan mata pencaharian mencari pekerjaan di luar dan sebagiannya lagi memilih untuk menjadi pekerja upahan di perusahaan perkebunan kelapa sawit. Apalagi sejak dari awal masuknya, PT. HAM (Harlitama Agri Makmur) dan PT. SSL (Sultra Sawitindo Lestari) menjanjikan akan memprioritaskan untuk mempekerjakan warga Desa Puuloro dan desa lain yang juga masuk dalam areal HGU-nya. Namun nyatanya justru tidak semua warga Desa Puuloro yang kehilangan mata pencaharian dapat bekerja di perusahaan.

Mereka yang diterima bekerja sebagian besarnya hanya bekerja sebagai buruh kasar dan sebagian kecilnya bekerja sebagai mandor. Yang bisa bekerja sebagai mandor adalah mereka yang sudah mengenyam pendidikan minimal setingkat SMA. Sementara, mereka yang tidak tamat SMA harus menerima kenyataan pahit bekerja sebagai buruh kasar di PT. HAM dan PT. SSL.

PT. SSL sendiri adalah perusahaan yang tergabung dalam satu grup dengan PT. HAM dibawah induk perusahaannya yakni Sinar Jaya Agro Investama (SJAI). Sinar Jaya Agro Investama (SJAI) adalah salah satu dari kelompok perusahaan yang ada di Indonesia yang kegiatan utamanya bergerak di bidang industri kelapa sawit. Perusahaan induk SJAI terdiri dari perusahaan perkebunan kelapa sawit, perusahaan yang memproduksi minyak sawit dan memproduksi minyak inti sawit. SJAI bertindak sebagai pedagang juga sebagai produsen dari minyak sawit mentah dan minyak sawit inti dengan budidaya, pemanenan, pengolahan Tandan Buah Segar (TBS) dan pengolahan minyak inti.

Di Sulawesi Tenggara, SJAI mengelola lahan sekitar 65.000 hektar melalui 5 anak perusahaannya yang mengantongi izin di Kabupaten Konawe dan Kabupaten Konawe Selatan .

Sebagaimana diketahui pada 2010 PT. HAM memperoleh izin lokasi di Kecamatan Sampara, Bondoala, Besulutu dari Pemerintah Kabupaten Konawe. Sementara itu PT. SSL mengantongi izin dari Pemerintah Kabupaten Konawe Selatan pada 2011. Dimana areal izin PT. HAM masuk dalam wilayah Desa Puuloro. Sedangkan areal izin PT. SSL tepat berada di wilayah perbatasan Kabupaten Konawe Selatan dan Kabupaten Konawe yang tidak jauh dari Desa Puuloro. Bahkan areal izin PT. SSL tersebut masih dianggap sebagai wilayah adat Puuloro oleh warganya. Sebagai bukti klaim, di wilayah tersebut terdapat 3 rumpun sagu milik warga Desa Puuloro.

Meskipun mengantongi izin di wilayah yang berbeda, namun kini PT. HAM dan PT. SSL digabungkan dalam satu manajemen pengelolaan di Desa Puuloro. Kedua perusahaan dan masyarakat sekitar areal izinnya biasa menyebut areal izin PT. HAM yang di belahan utara DEsa Puuloro sebagai lahan I. Sedangkan areal izin PT. SSL yang terletak di sebelah selatan Desa Puuloro biasa disebut lahan II.

Di lahan II (areal izin PT. SSL) perusahaan mempekerjakan 10 orang mandor, 5 orang mandor di divisi II dan 5 orang mandor di divisi III. Sementara pekerja PT. HAM tergabung ke dalam divisi I. Setiap 1 orang mandor membawahi 7 sampai 15 orang pekerja sawit. Untuk mobilisasi pekerjanya, perusahaan menjemput dan mengantar pulang para pekerja dengan menggunakan truk. Untuk 1 truk biasanya mengangkut 20 sampai 35 orang. Adapun jadwal dalam 8 jam waktu kerja dari hari Senin sampai hari Sabtu setiap harinya dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel jadwal waktu kerja
Waktu Jadwal Kerja
06.00 – 06.30 Penjemputan pekerja
06.30 – 07.00 Absensi pekerja
07.00 – 10.00 Bekerja
10.00 – 10.15 Istirahat
10.15 – 11.30 Bekerja
11.30 – 12.00 Istirahat
12.00 – 14.00 Bekerja
14.00 Pekerja diantar pulang

Pada masa awal masuknya PT. HAM dan PT. SSL, perekrutan pekerja dilakukan dengan membuka pengumuman di kantor perusahaan. Setelah mendengar kabar bahwa pihak perusahaan membuka lowongan pekerjaan, warga Desa Puuloro dan warga desa lain yang ada di sekitarnya pun mengajukan surat lamaran kerja ke perusahaan.

Warga yang diterima bekerja oleh perusahaan kemudian dipekerjakan dengan system kerja borongan. Seperti yang dialami oleh Yati, salah seorang buruh perempuan PT. SSL yang kini sudah berstatus sebagai buruh harian. Pada bulan Mei 2012 ia dipekerjakan oleh PT. SSL sebagai pekerja borongan. Selama lima bulan dari bulan Mei hingga bulan Oktober 2012 ia ditugaskan untuk bekerja pembibitan, penanaman dan pemupukan. Seperti di bagian pembibitan, ia ditugaskan untuk memindahkan bibit ke polibek besar dengan upah yang sangat rendah yaitu hanya Rp.200 per polibek.

Begitulah yang dialami oleh Hase (L), salah seorang warga Desa Puuloro yang bekerja di PT. HAM. Setelah beberapa bulan diangkat sebagai pekerja harian pada pertengahan tahun 2013, berselang hanya beberapa bulan statusnya kemudian diubah menjadi pekerja borongan.

Sebagai pekerja borongan, ia ditugaskan membabat dan membersihkan lahan baru dengan upah 25.500 per hari. Sistem kerja borongan ditetapkan oleh pihak perusahaan dengan menyerahkan penanganan pekerjaan tertentu kepada salah seorang mandornya ataupun oramg yang dianggap punya ‘kedekatan’ dengan manajemen perusahaan.

Setiap (mandor) ditargetkan menyelesaikan pekerjaan dengan target tertentu dan menyerahkan seluruh upah untuk pekerjaan tersebut kepada mandor yang ditugaskan sebagai pemborong. Kepala rombongan tersebut kemudian mempekerjakan buruh dengan sistem upah harian. Barulah ketika pekerjaan selesai kepala rombongan menyerahkan upah kepada para buruh.

Menurut keterangan yang diperoleh dari Hase, pada saat ia bekerja membabat selama 4 hari, ia hanya menerima upah sebesar Rp.120.000. Karena merasa upah yang diterima sangat kurang dan tidak wajar, maka Hase memutuskan untuk berhenti bekerja dan mencari pekerjaan yang lain. Hase kini tidak punya pekerjaan tetap dan menjadi pekerja serabutan.

Hal yang sama juga dialami oleh istri mantan Kepala Desa Puuloro Raho (45). Ia pernah bekerja dengan sistem borongan pada tahun 2012. Bersama rekan kerjanya, ia ditugaskan untuk melakukan pekerjaan tanam sisip dengan upah Rp.2.100 per pohon. Tanam sisip dilakukan untuk mengganti tanaman yang mati dengan bibit baru.

Raho Mengakui tanam sisip merupakan pekerjaan yang sangat tinggi tingkat kesulitannya. Karena para buruh harus mencari sendiri tanaman kelapa sawit yang mati untuk digantikan dengan bibit baru. Terkadang mereka harus mendaki dan turun gunung dengan mengangkat bibit berkeliling untuk menemukan sendiri tanaman kelapa sawit yang mati. Apalagi usianya sudah cukup tua dan kemampuan fisik yang sangat terbatas. Setelah melakoni pekerjaan itu selama 1 minggu Raho Memutuskan berhenti bekerja di perusahaan. Sebagian besar warga Desa Puuloro yang bekerja sebagai buruh borongan mengakui bahwa mereka terpaksa melakoni pekerjaan tersebut karena dijanjikan akan dipekerjakan sebagai buruh harian.

Bagi mereka yang rajin dan cepat menyelesaikan atau bahkan melebihi target kerja, para mandor menjanjikan akan mempromosikan mereka kepada pihak perusahaan untuk diangkat menjadi pekerja harian. Namun nyatanya tidak semua dari mereka yang punya etos kerja yang baik diangkat menjadi pekerja harian.

Pada bulan Oktober 2012 PT. SSL mengangkat Yati menjadi buruh harian dengan gaji Rp.41.000 per hari. Meskipun metode penyerahan upahnya bulanan, namun sistem penghitungannya tetaplah harian, dalam artian jika seorang pekerja tidak masuk dalam hitungan satu hari upahnya tidak akan dibayarkan untuk hari itu. Selama bekerja sebagai buruh harian saat itu Yati ditugaskan untuk mengerjakan piringan . Dalam satu hari setiap buruh diwajibkan mengerjakan 20 pohon.

Kesulitan yang biasa dihadapi oleh buruh dalam melakukan piringan ketika pohon sawit tempat mereka ditugaskan sudah besar sehingga mereka biasanya hanya bisa mengerjakan 18 pohon per hari sehingga tidak mencapai target yang ditetapkan oleh perusahaan. Jika tidak mencapai target 20 pohon yang telah ditetapkan oleh perusahaan maka esok harinya target kerja mereka bertambah menjadi 22 pohon.

Perlakuan perusahaan semacam inilah yang biasa dikeluhkan oleh para buruh. Karena menyamaratakan target pekerjaan dengan spesifikasi yang lebih sulit. Padahal semakin besar pohon sawit maka semakin besar pula tingkat kesulitan yang dialami oleh buruh untuk menyelesaikan target 20 pohon tersebut. Bilapun target yang pekerjaan diberikan telah diselesaikan oleh seorang buruh, perusahaan tidak memperbolehkan mereka pulang sebelum jam pulang kerja tiba.

Parahnya lagi bila seorang buruh telah bekerja melebihi target yang ditentukan, tidak ada kompensasi tambahan upah yang diberikan oleh perusahaan atas prestasi kerjanya.

Adapun perbandingan upah tanpa perjanjian kerja yang diterima buruh harian perkebunan sawit di Desa Puuloro dengan minimal upah yang diterima oleh pekerja dengan status kontrak perjanjian kerja PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) ataupun PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu) berdasarkan Upah Minimum Provinsi (UMP) Sulawesi Tenggara yang ditetapkan setiap tahunnnya dari tahun 2012 sampai tahun 2015 dapat dilihat pada tabel berikut :
Perbandingan Upah Buruh PKWT dan PKWTT berdasarkan UMP. Dengan Upah Buruh Harian Perkebunan Kelapa Sawit di Desa Puuloro Dari Tahun 2012 s/d 2015
Upah buruh harian perkebunan kelapa sawit di Desa Puuloro yang dipekerjakan tanpa kontrak atau perjanjian kerja yang jelas selalu berada di bawah upah yang diterima oleh buruh yang dipekerjakan dengan PKWT ataupun PKWTT berdasarkan UMP Sulawesi Tenggara.

Sebagian besar dari buruh PT. HAM dan PT. SSL mengakui upah yang diterima setiap bulannya dari perusahaan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Apalagi bagi buruh yang sudah berumah tangga dan punya anak. Suami istri bekerja di perusahaan pun bagi mereka tidaklah cukup. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mereka terpaksa mengutang kepada pedagang. Nanti setelah menerima upah barulah mereka membayar utang bulan lalu, bahkan biasanya utang bulan lalu tidak semuanya bisa mereka bayar dengan upah yang diterima dari perusahaan.

Bagi buruh yang berstatus pekerja harian, mereka mengakui tidak mendapatkan jaminan sosial (jamsostek) dari perusahaan. Padahal dari mandor perusahaan, mereka mendapat kabar bahwa sebagian dari mandor mendapatkan jamsostek dari perusahaan. Perusahaan pun tidak menyediakan perlengkapan kerja, klinik kesehatan dan tim khusus sebagai manakala terjadi kecelakaam kerja. Padahal para buruh bekerja dengan kondisi dan lingkungan kerja yang buruk sehingga rentan terjadinya kecelakaan kerja. Bila terjadi kecelakaan kerja, untuk mendapatkan pertolongan pertama sangat prosedural. Terlebih dahulu mereka harus melaporkan ke mandor, mandor kemudian melapor ke asisten, baru kemudian asistenlah yang bertugas membawa buruh yang mengalami kecelakaan kerja untuk mendapatkan perawatan kesehatan di puskesmas kecamatan atau ke rumah sakit.

Demikianlah yang dirasakan oleh Ende salah seorang buruh PT. HAM, tahun 2014 pada saat ia bekerja ia tertindis tumpukan kayu bekas tebangan perusahaan. Perusahaan hanya menanggung sebagian kecil dari biaya pengobatannya selama 8 bulan. Selebihnya, bila ada biaya pengobatan yang cukup besar seperti kamar rumah sakit tidak lagi ditanggung oleh pihak perusahaan. Padahal menurut analisa dokter, sakit yang diderita olehnya masih sangat membutuhkan perawatan di rumah sakit. Hingga sekarang dia masih sering merasakan nyeri di bagian bawah perut dan susah buang air kecil.
Masalah lain yang sering dipersoalkan oleh para buruh setiap tahunnya adalah persoalan (tunjangan hari raya).

Pada tahun 2014 para buruh hanya menerima jatah 50 persen dari jatah yang seharusnya diberikan yakni sama dengan satu bulan gaji. Ketika para buruh mempertanyakan masalah tersebut pihak manajemen perusahaan hanya berdalih bahwa selama bekerja sesuai dengan jam kerja yang ditentukan 8 jam per hari selama ini tidak tercatat dengan baik di bagian administrasi yang memakai sistem komputer.

Para buruh menduga alasan tersebut hanyalah akal-akalan dari pihak manajemen perusahaan agar tidak membayar hak tunjangan hari raya para buruh. Ditambah lagi dengan sering adanya pergantian mandor, sehingga terkadang mandor yang lama tidak melaporkan jam kerja mereka ke bagian administrasi. Apalagi perusahaan menetapkan bahwa kriteria buruh yang menerima tunjangan hari raya hanya buruh yang memenuhi target hari kerja 21 hari selama 3 bulan berturut-turut sebelum tiba waktu pemberian jatah tunjangan hari raya.

Padahal pada rentan waktu 3 bulan tersebut pihak perusahaan seringkali menurunkan status pekerja harian menjadi pekerja borongan. Bahkan banyak diantaranya di-PHK dengan alasan yang tidak jelas tanpa pesagon. Terlebih lagi bagi buruh yang sering menuntut hak-haknya kepada pihak perusahaan. Sedikit saja mereka menuntut hak, seketika pula perusahaan mem-PHK mereka tanpa alasan yang jelas.

Tidak hanya itu, buruh perempuan pun mendapatkan perlakuan diskriminatif dari perusahaan. Realitas tersebut dapat kita lihat di PT. SSL. Dari 10 orang mandor yang bekerja di PT. SSL semuanya adalah laki-laki, tidak seorang pun pekerja perempuan yang diangkat sebagai mandor oleh perusahaan. Padahal dapat dipastikan bahwa dari sekian banyak buruh harian perempuan di PT. SSL ada yang sudah tamat SMA. Lagipula menurut sebagian besar warga perempuan di Desa Puuloro, skill dan pengetahuan antara pekerja perempuan dan laki-laki tidaklah berbeda. Bahkan banyak diantara pekerja perempuan tersebut justru lebih punya etos kerja yang lebih baik.

Di PT. SSL faktanya dari setiap 10 sampai 12 orang yang dibawahi oleh satu orang mandor, jumlah buruh laki-laki hanya berkisar 2 sampai 3 orang. Fakta tersebut menunjukkan bahwa buruh perempuan lebih banyak dibanding buruh laki-laki. Hak buruh perempuan untuk mendapatkan cuti haid pun tidak pernah diberikan oleh perusahaan.

Perlakuan tidak adil dan tidak manusiawi dari perusahaan bukan tidak mendapatkan reaksi dari para buruh. Karena merasa upah yang diberikan oleh perusahaan tidak sesuai dengan tingkat kesulitan pekerjaan, pada 2011 para buruh borongan melakukan protes di kantor perusahaan di Kemaraya Kota Kendari. Namun tidak mendapatkan respon positif dari pihak perusahaan. Ketika itu pihak manajemen perusahaan di Kota Kendari hanya menyatakan kepada para buruh bahwa jika mereka tidak sepakat dengan upah borongan yang diberikan maka mereka tidak usah bekerja di perusahaan karena perusahaan masih bisa melakukan perekrutan pekerja yang baru sebab masih banyak orang yang butuh pekerjaan.

Bukan hanya pekerja borongan, hal yang sama pula dilakukan oleh para buruh harian. Tahun 2013, karena merasa telah lama bekerja di PT. SSL dan PT. HAM, para buruh harian juga melakukan protes kepada pihak manajemen perusahaan di Desa Torobulu. Mereka mempersoalkan status mereka sebagai buruh harian dengan sistem upah harian. Para buruh menginginkan mereka diangkat menjadi pekerja tetap. Merespon tuntutan para buruh, pihak manajemen perusahaan menyatakan akan mengangkat mereka menjadi pekerja harian tetap. Padahal dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan tidak ada istilah dan aturan tentang pekerja harian tetap. Bahkan setiap tahun persoalan THR selalu muncul karena acapkali perusahaan selalu mencari taktik untuk tidak membayar sepenuhnya ataupun tidak memberikan THR kepada para buruhnya, baik itu dengan melakukan PHK sebelum masa pemberian jatah THR maupun dengan menuruhkan status pekerja harian menjadi pekerja borongan. Pertengahan tahun 2013, sejumlah pekerja PT. SSL pernah berkumpul untuk membentuk organisasi serikat pekerja sebagai wadah perjuangan bersama, namun seketika itu, perusahaan melakukan pemberangusan serikat (union busting) dengan melakukan PHK secara sepihak terhadap para pekerja yang menginisiasi wadah perjuangan tersebut tanpa alasan yang jelas.

Berbagai masalah tersebut di atas hanyalah sekelumit dari sekian banyak persoalan yang hingga kini menimpa para buruh perkebunan kelapa sawit di PT. SSL. Pihak pemerintah Desa Puuloro, Pemerintah Kecamatan Sampara dan Pemerintah Kabupaten Konawe seakan lalai dalam melakukan pengawasan dan menutup mata atas berbagai penderitaan buruh perkebunan PT. HAM dan PT. SSL. Bukan tidak mungkin bila persoalan tersebut terus terakumulasi dan dibiarkan berlarut-larut akan memicu gejolak sosia sehingga sangat sulit untuk diselesaikan.

Naskah dan Foto: Tim Riset LSM YPSHK Sultra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *