Ini kisah nenek Wenae dan Naru, dua warga di pesisir Konawe Utara bertutur dalam bahasa daerah Tolaki. “wonuando ro kuasai, o wuta ro atoi..mano okiro puas, sambe anamore ro alei” (artinya; Daerah diambilnya. Mereka ambil pula tanah kami. Tapi Itu belum cukup sebelum membawa pergi anak-anak gadis dari sini….)
Wenae dan Naru adalah para perempuan pemecah batu yang dulunya adalah nelayan aktif di Desa Mandiodo. Selain faktor umur, kehadiran tambang di desanya membuat keduanya banting setir dari kehidupan laut. “Ma, kita liat-liatmi saja itu air laut,”kata Nirue sambil menunjuk ke arah pantai yang air lautnya telah berwarna kuning kecoklatan.
Jadilah keduanya sebagai pekerja buruh kasar. “Saya harus kerja, supaya tetap bisa makan bersama keluarga,”kata Narue.
Potret hidup kedua perempuan desa ini seolah mewakili jeritan hati sebagian besar masyarakat yang desanya berada di lingkar tambang.
Bagaimana tidak, para pemodal datang dan mengeruk sumber daya alam di desanya dan.mengirim lumpur ke laut .
Dari pengakuan polos Wenae, nampak bila kaum Perempuan menjadi pihak yang sangat rentan terkena dampak bisnis pertambangan. Banyak perempuan di pedesaan kini sering terpedayai dengan iming-iming uang besar. Tak sedikit yang terpaksa menjual diri untuk memperoleh segepok uang. Pertambangan juga telah membuat rasa ketergantungan rakyat di pedesaan pada pekerjaan buruh tambang. Inilah pilihan hidup paling instan dan meninggalkan kebiasaan lama sebagai petani dan nelayan. Banyak dari warga memilih kompromi menerima kehadiran tambang demi bertahan hidup.
Saya bertemu beberapa perempuan di pesisir. Mereka mengungkapkan penderitaan, dimana hari-hari mereka harus berjuang menghidupi keluarga, setelah ruang hidup mereka terenggut oleh kehadiran pertambangan. Selain mengurusi urusan domestic mereka, perempuan pesisir dipaksa bekerja ekstra menjadi pelaut berkilo meter jauhnya menerjang ombak. Mereka berjuang hidup membudidayakan rumput laut mereka ke daerah baru, sebab daerah laut dekat rumah-rumah mereka sudah tidak bisa digunakan karena limpahan lumpur tambang yang menggenangi lautan.
Selain itu perempuan nelayan juga kehilangan mata pencarian dan kehidupan mereka sebab bakau dan pasir pantai tempat tumbuhnya ekonsitem laut sekaligus matarantai makanan laut telah rusak. Perempuan pesisir kini diperhadapkan dengan dilema besar menjadi buruh di pertambangan yang sebenarnya sangat jauh dari budaya kehidupan mereka.
Nelayan perempuan di pesisir Pomalaa juga merasakan dampak luar biasa saat kehilangan lapangan pekerjaan mereka. Mereka kini berada dipersipangan pilihan tetap bertahan dengan kondisi atau memilih beralih pada pekerjaan lain.
Kapal-kapal yang berlabuh di laut pomalaa memang cukup menggoda perempuan di bumi mekongga itu. Sebagain mereka yang tidak beruntung terpaksa menjual diri menjadi pemuas nafsu pria hidung belang. Tak heran angka penyakit sepilis (kelamin) berada diurutan ke dua setelah menyakit pernapasan atau ISPA. Dalam catatan BPS Kolaka (Kolaka dalam angka) mencatat 20 ribu penderita penyakit seksual di Kolaka di kurun tahun 2009- 2010.
Di Pulau Wawonii, kaum perempuan berjuang mempertahankan tanah kebun yang sumber penghidupannya dari ekspansi tambang nikel. Bagi orang wawonii, tanah tidak hanya dipandang sebagai kumpulan gundukan tempat pepohonan dan tumbuh-tumbuhan lainnya tumbuh dalam sebuah kawasan. Tanah mengandung nilai yang sangat kompleks, meliputi ekonomi, nilai budaya, maupun nilai religi. Nilai ekonomi yakni hasil tanah memberi manfaat ekonomi bagi orang wawonii untuk memenuhi kebutuhan subsistensinya melalui berbagai model pengelolaan dan pemamfaatan lahan dan hasil-hasilnya, seperti berladang, menanam tanaman jangka panjang seperti kelapa, jambu mete, pala, cengkeh, kakao, lada dan berbagai jenis buah-buahan seperti, nangka, mangga, rambutan, langsat, pepaya dan pisang.
Tambang sedikit banyaknya telah mengubah kehidupan kaum perempuan. Di Bombana, baik secara ekonomi, sosial maupun budaya tambang mengubah segalanya. Seorang ibu yang saya temui mengaku cukup senang bekerja di tambang karena bisa dengan cepat mendapatkan uang. Namun sebuah ungkapan keluhan terlontar tak sengaja keluar dari mulut perempuan setengah baya itu, “Di sini hidup kami sedikit membaik, tapi bukan berarti tidak susah”, begitulah kisah ibu Isna memulai kisahnya yang merupakan gambaran dari sebuah ketertindasan kaum perempuan yang hidup di sekitar tambang.
Selain perampasan lahan, bentuk kejahatan lain dari pertambangan adalah ekspolitasi buruh khususnya buruh perempuan. Tidak terpenuhinya hak normatif dan perlindungan bagi buruh perempuan menambah persoalan bagi perempuan yang hidup disekitar pertambangan.
Dari ribuan orang buruh yang kini bekerja di perusahaan-perusahaan tambang, diperkirakan setengah nya adalah perempuan. Tidak ada perbedaan jenis pekerjaan antara buruh laki-dan buruh perempuan. Semua pekerjaan yang ada di pertambangan seperti pengawas,tenaga teknis tak luput di kerjakan oleh buruh perempuan.Semua jenis pekerjaan tersebut, sarat dengan resiko kecelakaan kerja. Beban kerja dan medan yang begitu berat, dilalui oleh setiap buruh perempuan walau sedang haid atau hamil sekalipun. Mereka, tidak mengenal cuti haid, hamil dan melahirkan.
Juli Tahun 2010 silam Saya berkesempatan masuk di salah satu base camp tambang emas di Bombana. Dari dapur tampak kesibukan enam orang perempuan yang mengatur dan mencuci piring. Sebagian yang lain berkutat di kompor yang panas. Mereka sibuk dengan tugas masing-masing. Ada yang memotong sayur, menanak nasi, menggoreng lauk hingga mencuci pakaian.
Para perempuan itu sudah enam bulan bekerja di tambang itu, hari itu mereka sedang melakukan aktifitas logistik makanan para karyawan tambang. Salah satu perempuan buruh itu adalah Ibu Siti (46 tahun), ia adalah buruh tambang di sana.
Menjadi buruh dapur perusahaan tambang , bukanlah pilihan yang disengaja bagi ibu Siti dan perempuan lainnya. “ Mau apa lagi, sawah sudah tak punya”, katanya menerawang, dia bercerita bahwa dulunya Ia memiliki sawah seluas satu hektar. Sebab dia adalah warga tramsmigrasi. Kini, ia tak lagi menanam, merawat dan memanen padinya sendiri. Melainkan harus menjadi buruh di bekas lahan sawahya sendiri setelah dijual ke pihak lain.
Walaupun negara kita mempunyai UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakeerjaan yang mengatur tentang hak normatif bagi buruh perempuan seperti cuti haid, hamil dan melahirkan, dan jaminan keselamatan kerja, namun, fakta yang dialami buruh perempuan, sesungguhnya adalah potret dari lemahnya pengawasan pemerintah terhadap perusahaan yang berkaitan dengan impelementasi dari UU tersebut seperti hak-hak buruh khususnya buruh perempuan.
Perlindungan terhadap keselamatan kerja dan reproduksinya juga tertuang dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) dimana negara kita telah meratifikasi dalam UU No 7 tahun 1984.
“Negara-negara peserta wajib melakukan segala langkah tindak yang diperlukan untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam bidang kesempatan kerja untuk mrnjamin, atas dasar kesetaraan laki-laki dan perempuan, hak-hak yang sama khususnya;hak atas perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja, termasuk perlindungan fungsi reproduksi. Ini termmaktub dalam pasal 11 point f,”kata Susianti Kamil, aktifis perempuan di Kendari.
Tidak adanya hak-hak normatif dan perlindungan bagi buruh perempuan, juga di sebabkan kurangnya informasi dan pengetahuan buruh perempuan tentang hak-hak buruh dan hak-hak kemanusian. Hal ini di sebabkan selain lokasi wilayahnya yang cukup sulit dari akses transportasi maupun informasi, juga di pengaruhi oleh lemahnya akses pendidikan khususnya bagi perempuan yang juga tak luput dari pengaruh budaya patriarki yang belum menjadikan pendidikan bagi anak perempuan sebagai prioritas utama bagi masyarakat miskin. Mayoritas buruh perempuan di pertambangan ini, hanya mengenyam pendidikan di sekolah menengah pertama dan ada yang hanya tamatan sekolah dasar.
Kondisi di atas selain menyebabkan semakin tereksploitasinya buruh perempuan di pertambangan juga menyebabkan ancaman atas kesehatan reproduksinya. Beberapa pakar berpendapat bahwa, organ reproduksi perempuan sangat sensitive terhadap kuman, bahan kimia dan ganguan kesehatan lainnya. Sehingga lingkungan yang tidak sehat, tidak aman dan beban kerja yang berat dapat menyebabkan ganguan terhadap organ reproduksinya, tak jarang hal itu dapat menyebabkan gangguan fertilitas (kesuburan), keguguran bahkan kanker rahim.
Menjadi buruh bukan berarti tak membuat perempuan buruh yang lainnya tidak menjalankan peran domestiknya. Pukul empat pagi, perempuan harus bangun dari tidur malamnya. Hal ini dilakukan karena sebelum berangkat kerja, dia terlebih dahulu harus memasak dan menyediakan kebutuhan anggota keluarga yang lainnya. Ketika matahari mulai terbenam, perempuan—perempuan desa kembali kerumahnya, namun bukannya istirahat yang didapatkan, melainkan harus melanjutkan peran domestiknya. Banyak perempuan, setiap hari berangkat ke lokasi pekerjaan dengan jarak yang lumayan jauh, sehingga terpaksa harus menginap di basecamp , rumah penampungan karyawan yang mayoritas di huni laki-laki.
Namun, para perempuan merasa tidak ada yang salah dengan kondisi “double bourden’ yang mereka alami. Hal itu dianggap wajar. Karena pada umumnya perempuan di sekitar mereka mengalami hal yang sama. Peran utama yang mereka emban untuk pekerjaan domestik dianggap sebagai “kodrat perempuan”.
Kisah buruh perempuan di pertambangan ini adalah potret situasi perempuan Indonesia khususnya Sulawesi Tenggara yang dibelenggu oleh ketidakadilan system ekonomi, politik maupun secara social. Adanya anggapan social bahwa perempuanlah yang memegang peranan utama dalam pekerjaan domestik seperti memasak, mencuci, mengurus anak, melayani suami dan sebagainya menjadi persoalan bagi perempuan khususnya perempuan miskin.
Beban ganda menjadi tak terhindarkan bagi perempuan yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya. Hal ini tentu saja akan berdampak pada kualitas kesehatan perempuan, dan terenggutnya akses perempuan untuk memperoleh akses informasi, akses untuk terlibat dalam kegiatan public dan sebagainya. Kondisi ini akan semakin akan menempatkan perempuan pada posisi subordinasi.
Menjadi buruh perempuan di pertambangan, sekaligus menjadi seorang perempuan yang hidup dalam lingkaran budaya patriarki, akhirnya menjadi beban ganda yang harus di pikul bagi diri perempuan. Beban tersebut adalah suatu lingkaran ketertindasan bagi kaum perempuan yang tidak disadari baik oleh masyarakat maupun oleh perempuan itu sendiri.
Kisah-kisah perempuan yang hidup di sekitar industri ekstraktif di atas, semakin menjelaskan bawa perempuan mengalami ketertindasan yang kompleks dalam lingkaran kehidupan mereka. Lahan yang dirampas, kehidupan tambang yang teramat keras dan eksploitatif, beban ganda yang harus di pikul, sungai yang tercemar, menegaskan bahwatambang telah merenggut kehidupan perempuan.
Naskah dan Foto: Joss Hasrul