Sepintas anak sungai Kaindi tak beda dengan sungai-sungai lain di Sulawesi Tenggara. Air mengalir deras di celah-celah kerikil berwarna putih hitam. Pepohonan jati dan kayu rimba campuran tumbuh lebat disepanjang bibir sungai yang tak seberapa lebar itu. Namun saat kaki menyentuh air, maka kita akan menemukan sensasi berbeda di sungai ini. Air bening ini begitu hangat. “Inilah yang membedakan sungai kaindi dengan sungai-sungai lain di daerah Konawe Selatan dan sekitarnya,”terang Abd Kasim, warga Desa Kaindi.
Sumber air panas terdapat di dua tempat di Kecamatan Lainea, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara . Cocok dikembangkan untuk areal wisata.Sungai ini berada diareal kawasan hutan Desa Kaindi, Kecamatan Lainea.
Kepulan mirip asap tadi adalah kumpulan uap dari sumber air panas yang memang tersebar di beberapa titik di kawasan hutan itu.
Informasi menyebut bila sumber air panas itu berada di ketinggian 50 meter dari permukaan laut.
Untuk menjangkau tempat itu, perlu melewati rute jalan setapak, setelah melalui areal perkebunan rakyat. Disarankan pula, untuk menjangkau tempat itu, Anda perlu menyewa gaet local yang siap melayani perjalanan anda.
Rerimbunan hutan jati yang banyak tumbuh di kawasan itu menjadi nilai tambah perjalanan ke kawasan itu. Sayangnya praktik illegal loging menjadikan kawasan itu bergeser dari bentuk aslinya.
Sebelum tiba di lokasi, kita akan mendapati sebuah bangunan penampungan permanen yang sudah tak terpakai. Ukuran bangunan seluas 15 X 12 meter persegi dan letaknya dekat aliran sungai kecil yang membentang. Air sungai itu terasa hangat, terlebih pada pagi hari.
Bagi warga, areal itu punya cerita tersendiri. Bangunan itu adalah kolam permandian peninggalan Jepang.
Cerita seorang warga di sana, dulunya, saat Pasukan Jepang menguasai wilayah itu, mereka sempat membuat bangunan permanen untuk menampung dua jenis air berbeda. Panas dan dingin.
Nah, air yang panas itu, disuplai dari sumber air panas yang ada di kawasan bukit hutan yang letaknya sekitar 1 KM. Sedang, air yang dingin, diambil dari sebuah sungai kecil yang mengalir sekitar 50 meter dari bak penampungan.
Ini terbukti dengan membentangnya sebuah pipa besi dari percabangan berbeda. Sayangnya, kondisi bak itu sudah tak layak pakai, selain tinggal pondasi, seluruh bangunan terutama bak air juga sudah tertimbun tanah.
Ketika jarak semakin mendekati air panas, maka hawa panas sedikit demi sedikit akan terasa. Demikian pula, bau belerang tampak menyengat hidung.
Areal tempat air panas tak begitu luas. Terletas di bawah sebuah bongkahan batu besar. Saat tiba, secara tak sengaja bertemu dua mahasiswa asal Makassar yang tengah melakukan penelitian di sumber air panas itu. Dari mereka diketahui titik didik air mencapai 50 derajat celcius.
Untuk mengetes titik didih air cukup mudah, dengan menaruh beberapa butir telur ke dalam air panas itu, maka hasilnya yang diperoleh cukup menakjubkan, sekitar 10 menit telur pun matang.
Selain di Desa Kaindi, di Desa Pamandati juga terdapat sumber air panas. Lokasinya tak jauh dari pemukiman penduduk.
Bagi warga setempat, lokasi itu menjadi salah satu obyek wisata alternatif selain wisata laut. Selain jaraknya yang dekat –2 KM–, warga juga dengan mudah menjangkau tanpa sedikit pun dipungut bayaran.
Beberapa warga menaruh harapan agar pemerintah Kabupaten Konawe Selatan memberi perhatian pada lokasi itu. “Sebetulnya bila dikelola dengan maksimal, maka lokasi wisata ini bisa menarik pendapatan buat daerah,”kata Kasim, pemerhati kehutanan. SK