KENDARI, suarakendari.com-Sulawesi Tenggara (Sultra) menyimpan potensi energi terbarukan yang melimpah, bagai permata tersembunyi yang siap digali. Sinar matahari yang intens, hembusan angin di pesisir dan pegunungan, aliran sungai yang deras, hingga kekayaan biomassa menjanjikan masa depan energi yang lebih bersih dan berkelanjutan bagi wilayah ini. Namun, realitas bauran energi saat ini masih didominasi oleh energi fosil, dengan batu bara (76%), minyak bumi (19%), dan gas bumi (0%) sebagai tulang punggung utama, sementara energi baru terbarukan (EBT) baru menyumbang 5% melalui PLTS, PLTMH, dan biomassa.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sultra memiliki visi yang jelas untuk masa depan energinya. Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2021 menargetkan peningkatan pangsa EBT menjadi 7% pada tahun 2025 dan ambisius mencapai 36% pada tahun 2050. Langkah ini bukan hanya sejalan dengan tren global menuju energi bersih, tetapi juga merupakan respons terhadap potensi alam Sultra yang begitu besar.
PLTS: Sang Surya yang Menerangi Pelosok
Saat ini, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) menjadi garda terdepan pengembangan EBT di Sultra. Tercatat 217 unit PLTS tersebar di berbagai wilayah, terdiri dari PLTS terpusat, tersebar, hingga rooftop. Keberadaan PLTS ini telah memberikan dampak signifikan bagi lebih dari 300 desa, menerangi sekitar 23.545 rumah, serta menopang operasional 1.085 fasilitas umum seperti sekolah, puskesmas, masjid, dan kantor desa.
Taslim Dalma Praktisi Media yang banyak menulis tentang Energi Terbarukan menyebut jika manfaat kehadiran PLTS sangat dirasakan, terutama di wilayah terpencil. Di Pulau Saponda, misalnya, sebelum adanya PLTS, warga harus merogoh kocek hingga Rp450 ribu hingga Rp900 ribu per bulan untuk biaya operasional genset berbahan bakar bensin yang harganya mencapai Rp15 ribu per liter. Kini, dengan PLTS yang berfungsi, biaya listrik bulanan hanya berkisar Rp10 ribu, sebuah penghematan yang sangat berarti bagi perekonomian masyarakat.
Tantangan di Balik Potensi yang Menjanjikan
Meskipun potensi dan manfaat EBT di Sultra begitu nyata, pengembangan sektor ini tidak terlepas dari berbagai tantangan. Regulasi dan kebijakan yang belum sepenuhnya mendukung, keterbatasan pendanaan dan investasi, rendahnya kesadaran masyarakat, serta kendala infrastruktur menjadi batu sandungan yang perlu diatasi.
Dari sisi regulasi, meskipun UUD 1945 mengamanatkan negara untuk memenuhi kebutuhan listrik warga, dan Kementerian ESDM telah berupaya membantu wilayah yang sulit dijangkau PLN, namun terdapat batasan dalam hal anggaran operasi dan pemeliharaan PLTS yang telah dibangun. Di tingkat daerah, Perda Nomor 2 Tahun 2021 sebenarnya telah mengamanatkan insentif untuk penggunaan EBT, namun implementasinya terhambat oleh keterbatasan anggaran di Dinas ESDM Provinsi Sultra.
Pendanaan pembangunan PLTS sendiri bersumber dari berbagai APBN kementerian/lembaga dan APBD melalui Dana Alokasi Khusus (DAK). Namun, biaya pembangunan yang cukup besar, mencapai Rp150 juta per KWP, memerlukan alokasi anggaran yang signifikan. Sementara itu, iuran pengguna listrik PLTS yang berkisar Rp1 juta hingga Rp2 juta per bulan secara keseluruhan belum mampu menutupi kebutuhan operasional dan pemeliharaan jangka panjang.
“Kesadaran masyarakat juga menjadi faktor krusial. Rendahnya pemahaman terkait penggunaan listrik yang efisien dan kewajiban membayar iuran, minimnya pengetahuan tentang teknologi EBT, serta kurangnya relawan untuk menjadi operator pembangkit menjadi tantangan tersendiri,”ungkap Taslim Dalma.
Kendala infrastruktur lanjut Taslim juga perlu menjadi perhatian. Masa garansi PLTS yang terbatas, serta usia pakai baterai dan panel surya yang memiliki batas waktu, memerlukan perencanaan pengelolaan pasca pembangunan yang matang. Sayangnya, ketiadaan dukungan anggaran pemeliharaan dari pemerintah pusat, serta keterbatasan anggaran daerah, menjadi masalah serius. Bahkan, dana desa pun tidak diperbolehkan untuk perbaikan PLTS.
Merajut Masa Depan Energi yang Lebih Cerah
Untuk memaksimalkan potensi EBT di Sultra, diperlukan langkah-langkah strategis dan kolaboratif. Mengintegrasikan PLTS dengan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), terutama di wilayah pesisir, dapat menjadi solusi untuk meningkatkan keandalan pasokan listrik. Mengingat banyaknya pulau-pulau kecil yang sulit dijangkau jaringan PLN, pengembangan PLTS di wilayah ini menjadi sangat krusial.
Namun, jika pengembangan EBT tidak berjalan efektif, perlu dipertimbangkan untuk mengalihkan anggaran ke kebutuhan masyarakat yang lebih mendasar seperti air bersih, kesehatan, atau pendidikan. Yang tak kalah penting adalah perlunya keselarasan kebijakan dan program lintas kementerian/lembaga serta PLN untuk memastikan keberlanjutan program energi terbarukan di Sultra.
Mewujudkan bauran energi yang ideal di Sulawesi Tenggara membutuhkan komitmen, inovasi, dan kerja sama dari berbagai pihak. Dengan mengatasi tantangan yang ada dan memaksimalkan potensi yang dimiliki, Sultra dapat bercahaya terang dengan energi bersih, membawa manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan bagi seluruh masyarakatnya. SK