Pulau Kabaena Menjerit: Nikel Renggut Surga Suku Bajo, Terumbu Karang Mati, Masa Depan Terancam! Temukan fakta mencengangkan tentang dampak pertambangan nikel di Pulau Kabaena. Hutan hancur, laut tercemar, Suku Bajo kehilangan ruang hidup. Baca laporan lengkapnya di sini!
Pulau Kabaena, Surga yang Terenggut Tambang Nikel
Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara, yang dulunya dikenal sebagai surga bagi Suku Bajo dan keanekaragaman hayati laut, kini tengah menjerit. Hadirnya pertambangan nikel telah menghancurkan lingkungan dan ruang hidup masyarakat adat, khususnya Suku Bajo.
Fakta ini terungkap dalam riset terbaru yang dilakukan oleh Satya Bumi dan Walhi Sultra berjudul “Bagaimana Demam Nikel Menghancurkan Pulau Kabaena dan Ruang Hidup Suku Bajau?” yang dipublikasikan pada Senin, 9 September 2024 lalu.
Kerusakan Lingkungan dan Dampak Sosial yang Mengerikan
Riset tersebut memaparkan dampak kerusakan lingkungan, ekonomi, dan kesehatan masyarakat akibat pertambangan nikel. Tim peneliti juga mengungkap adanya dugaan praktik korupsi dan keterlibatan perusahaan besar dalam rantai pasokan nikel untuk baterai kendaraan listrik global.
Hutan Lindung Jadi Lahan Tambang:
Perubahan aturan tata ruang Sultra pada 2010 dan SK Menteri Kehutanan No. SK.465/Menhut-II/2011 mengubah status hutan lindung menjadi hutan produksi, membuka jalan bagi perusahaan tambang.
Lebih dari 73% Pulau Kabaena dikuasai oleh konsesi tambang, melanggar UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Pencemaran Laut dan Penderitaan Suku Bajo:
Limbah tambang mencemari laut, membunuh terumbu karang, dan mencemari perairan tempat tinggal Suku Bajo.
Dilaporkan akibat pencemaran lumpur tambang, anak-anak Suku Bajo mengalami gatal-gatal dan penyakit kulit akibat air laut yang tercemar.
Bahkan, tragisnya, tiga anak suku Bajo dilaporkan meninggal dunia akibat jatuh ke air keruh, karena tidak bisa berenang.
“Kondisi ini sangat memprihatinkan. Secara tradisional dan turun-temurun sejak anak suku Bajo berusia tiga tahun, mereka telah diajarkan menyelam. Karakteristik suku Bajo yang menggantungkan hidup di laut membuat kemampuan menyelam ini sangat krusial bagi preservasi kehidupan,” ungkap Sayiidattihayaa Afra, periset.
Kehilangan Mata Pencaharian dan Masa Depan:
Suku Bajo terpaksa meninggalkan tradisi melaut dan beralih menjadi buruh kasar di tambang dengan upah rendah.
Masyarakat Suku Moronene kehilangan lahan perkebunan dan terpaksa menjual tanah kepada perusahaan tambang.Para nelayan yang dulu menggantungkan hidup dari laut, kini terpaksa menjadi buruh kasar di tambang, dibayar rendah, dan bekerja tanpa jaminan kesehatan. Sementara bagi masyarakat suku Moronene yang dulu hidup dari perkebunan kacang mete dan kopi kini kehilangan lahan. Tanaman di sekitar tambang menjadi tidak subur, memaksa mereka menjual tanah kepada perusahaan tambang.
Pelanggaran HAM dan Kriminalisasi Warga
Walhi Sultra mencatat 32 warga lokal dilaporkan ke polisi pada 2022, termasuk ibu-ibu yang mempertanyakan AMDAL.
Transisi Energi yang Memakan Korban
Direktur Eksekutif Walhi Sultra, Andi Rahman, menegaskan bahwa kebijakan percepatan transisi energi telah menyebabkan pelanggaran HAM dan rusaknya sumber penghidupan masyarakat lokal. “Saat kami mendampingi warga, ibu-ibu yang melakukan aksi mempertanyakan amdal ternyata berakhir menjadi tersangka,” kata Andi Rahman.
SK