Sebelum peristiwa tenggelamnya tiga kapal armada VOC di pulau sagori pada 1650, tak banyak catatan tentang pulau kabaena. Manuskrip tentang kemalangan armada belanda itu tertuang dalam sebuah jurnal yang tersimpan di perpustakaan negeri kincir angin, sebelum akhirnya dipublikasi oleh seseorang bernama horst liebner di internet.
Kisah tenggelamnya tiga kapal VOC dan keindahan pantai maupun terumbukarang pulau sagori, pernah mengantar kejayaan pariwisata pulau kabaena. Pada tahun 1980 hingga 1990, pulau sagori sendiri secara administrative masuk pada wilayah kecamatan kabaena.
Pada masa itu, hampir setiap bulan, kapal-kapal pesiar berisi para bule sering terlihat bersandar di pelabuhan utama pulau kabaena di kelurahan sikeli sebelum akhirnya mereka menghabiskan satu dua pecan di pulau sagori.
Lalu, tanpa sebab yang jelas, kapal pesiar enggan lagi datang ke kabaena.Padahal alam dan budaya kabaena memiliki daya tarik yang tidak kalah magis. Namun yang menggoda adalah kandungan nikel dalam perut bumi kabaena.
Ketika pulau kabaena memisahkan diri dari kabupaten buton dan bergabung dengan kabupaten bombana menjadi sebuah daerah otonom baru pada tahun 2004, membuka peluang investor untuk menginvasi pulau kabaena.
Celakanya, potensi sumber daya alam kabaena yang lama membuat air liur para investor tambang meleleh, menyebabkan para investor saling berebut lahan. Bukannya melindungi pulau nan eksotis itu, pemerintah daerah bombana justru memberikan keleluasaan bagi para investor untukmenguasai beribu-ribu hektar lahan petani.
Gayung bersambut. Warga yang telah lama tenggelam dalam kubangan kemiskinan seperti mendapat durian runtuh. Satu persatu perkebunan rakyat jatuh ke tangan investor. Tak butuh waktu lama untuk menyaksikan kubangan-kubangan raksasa menganga. “Warga makin terlena lantaran roda ekonomi berputar sesaat.,”kata Abdul Madjid Ege, Kepala Desa Tangkeno sekaligus Ketua Adat Tokotua Kabaena.
Bukannya upaya perlawanan tidak ada. namun melawan investor seperti David melawan Goliath. Tak kuat menghadapi tekanan, satu persatu pemilik lahan melepas lahannya. Tak terhitung lagi berapa warga yang telah menjual lahannya. Ada juga kasus ketika warga dan pemerintah desa ramai-ramai menjual tanah ulayat laksana pedagang kaki lima menjajakan dagangan. Keserakahan telah membutakan semuanya.
Satu-satunya benteng terakhir bagi pulau kabaena kini tersisa di Desa Tangkeno. Dipimpin seorang kepala adat yang teguh pendiriannya, Abdul Majid Ege, desa ini bersepakat memilih jalan pedang, menolak investor tambang tanpa syarat. Tak satu pun investor diberi peluang bernegosiasi.
Melihat upaya dan kegigihan Majid Ege, lembaga swadaya masyarakat walhi, melihatnya sebagai sebuah jalan baru untuk menjaga semangat perlawanan terhadap invasi perusahaan tambang. Namun perjuangan tak lagi dengan cara turun ke jalan.
Bersama perangkat desa, perangkat adat dan warga serta walhi menggagas pendirian desa wisata tangkeno. Salah satu kekuatan desa wisata ini adalah pola pengelolaannya yang dilakukan secara swadaya dan partisipatif.
Jualannya adalah kearifan local warga setempat dalam mengelola sumber daya alam mereka. Disamping itu, desa yang terletak di ketinggian 650 mdpl selalu berselimut awan, sehingga oleh warga dan pendamping dari walhi bersepakat mengusung tagline negeri di awan.
Desa tangkeno sendiri pernah menjadi pusat peradaban suku moronene tokotu’a. bekas-bekas peninggalannya masih dapat di jumpai seperti benteng tuntutari, tempat pemujaan dewa bernama tangkenompeolia dan beberapa tradisi dan budaya yang masih lestari hingga kini.
Warga tangkeno yang memilih bertahan pada pola hidup seperti yang diwariskan leluhur mereka tetap memilih berkebun ladang sambil menjadi penyadap gula aren. Kini warga berharap geliat pariwisata dapat menjadi sandaran hidup. Sementara lingkungan alam dapat terus lestari dan dijaga hingga turun temurun.
Kegigihan warga akhirnya membuka mata pemerintah. Desa tangkeno akhirnya diakui dan ditetapkan menjadi desa wisata tangkeno dan menjadi ikon kabupaten bombana. Karenanya, wilayah desa tangkeno tertutup untuk aktivitas pertambangan.
Kini kejayaan wisata pulau kabaena kembali menuju puncak. Hampir setiap tahun warga dapat menyaksikan ratusan hingga ribuan wisatawan local maupun mancanegara kembali berduyun-duyun menuju tangkeno untuk menyaksikan dahsyatnya festifal tangkeno/ atau sekedar merasakan berselimut awan.
Jalan pedang menolak industri ekstraktif yang rakus lahan juga dipilih warga di desa-desa lain di sulawesi tenggara. Di desa namu kecamatan laonti, kabupaten konawe selatan, menempuh hal serupa.
Kecamatan laonti yang sebagian besar kawasannya masuk dalam hutan konservasi dan suaka margasatwa menjadi salah satu lokasi yang banyak diincar investor tambang dan beberapa perusahaan telah melakukan kegiatan ekplorasi dan eksploitasi hingga jantung hutan alam kecamatan laonti.
Ekspansi perusahaan tambang ini tak lepas dari kondisi sumber daya alam khususnya minerba yang diduga melimpah di kawasan ini, sehingga para investor tambang berbondong-bondong menyerbu mengajukan perijinan tambang di wilayah laonti termasuk di desa namu.
Semula warga dan pemerintah desa tak berdaya menghadapi ekspansi perusahaan dengan segala bujuk rayu/ terlebih lagi adanya legitimasi dari pemerintah kabupaten konawe selatan yang memberikan perijinan kepada sejumlah perusahaan/ sehingga membuat masyarakat tak berdaya.
Tak terhitung jumlah aksi protes warga menolak tambang atas pemberian perijinan tambang di wilayah laonti, karena kekuatiran hilangnya wilayah kelola sekaligus ruang hidup warga atas tanah, laut dan udara. Sayangnya, aksi protes selalu berakhir dengan kekalahan bagi warga. Namun tak patah arangm warga kemudian membentengi wilayah mereka dengan mengelola desa wisata, tujuan utamanya, yakni untuk memproteksi wilayah namu dari perusakan lingkungan akibat dari aktifitas pertambangan.
Praktik pengelolaan sumber daya secara berkelanjutan ini mendapat dukungan seluruh masyarakat di desa namu, karena, selain dapat menjaga kelestarian alam, juga berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakat setempat sebagai efek perputaran ekonomi dari hadirnya para wisatawan di desa namu.
“Praktik mendorong desa wisata memang tak semudah membalikkan telapak tangan, butuh kerja keras dan kerja kolektif seluruh komponen desa, seperti pemerintah desa dan komunitas pemerhati wisata, baik dalam kerja nyata membersihkan lingkungan desa, pembangunan sarana dan prasarana wisata hingga dalam mendorong regulasi berupa peraturan desa terkait pengelolaan desa wisata,”jelas Pior, aktifis Ruruhi Project.
Tak dapat dipungkiri, Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah, keindahan alam tak kalah dari daerah pariwisata lain di indonesi. Keseluruhan potensi wisata yang luar biasa ini tersebar di seantero sulawesi tenggara, khususnya di wilayah pedesaan.
Setidaknya sulawesi tenggara memiliki lebih dari 700 spot lokasi wisata yang tersebar di 16 kabupaten-kota dengan ragam tradisi budaya, lebih dari ratusan kerajinan daerah dan aneka permainan tradisional.
Bukti dari pengelolaan pariwisata sulawesi tenggara dapat dilihat dari keberhasilan pemerintah wakatobi memperkenalkan pariwisata kepulauan tukang besi hingga ke mata dunia.
Pun demikian yang terjadi pada pengelolaan destinasi wisata pulau labengki, kabupaten konawe utara yang dalam beberapa tahun belakangan tengah menggeliat dibanjiri wisatawan baik wisatawan lokal maupun manca Negara.
“Terbukti pariwisata memberikan kontribusi yang riil bagi Negara,”kataHabib Buduha.
“Sudah saatnya potensi yang dimiliki desa-desa di sulawesi tenggara menjadi andalan untuk mengangkat taraf hidup masyarakat setempat, mengingat sektor pariwisata bisa menjadi sektor penopang pemasukan desa, disamping dua sektor yakni pertanian dan perikanan,”kata Hugua, tokoh pariwisata Sultra.
Menurutnya, di era yang semakin maju semakin pula banyak cara dan strategi untuk mengangkat potensi wisata di suatu daerah. Dimana masing-masing daerah memiliki kekhasan atau penonjolan karakteristik alam maupun sosio kultural dan aspek lainnya.
Di sejumlah daerah pedesaan ini saat ini terus bergerak dan menggiatkan penggalian-penggalian potensi wisata mereka. Gerakan ini merupakan buah dari komitmen yang kuat dari seluruh komponen desa untuk menyamakan pendapat.
persepsi dan mengangkat potensi desa guna dijadikan desa wisata menjadi point paling urgen sebab, komitmen ini yang menjadi dukungan terkuat bagi terwujudnya dan keberlangsungan desa wisata sebagai upaya mendorong memandirian desa dan mengurangi ketergantungan dari pemerintah dan swasta.
Lebih jauh menggeliatnya aktifitas desa wisata, selain mendorong kemandirian ekonomi desa juga sebagai upaya membentengi desa dari eksploitasi sumber daya alam industri ekstratif yang cukup membawa dampak kerusakan lingkungan.
Harus diakui, inisiatif pemerintah baik di level provinsi, kabupatan hingga desa masih sangat minim, ini disebabkan frame pemerintah yang belum menjadikan pariwisata sebagai roda utama pembangunan. Hal ini terlihat dari alokasi anggaran di sejumlah daerah yang sangat minim menggelontorkan anggaran pembangunan infrastruktur pariwisata daerah. Hal ini tertuang dalam rencana jangka panjang dan menengah di setiap daerah, dimana skala prioritas pembangunan pemerintah masih bertumpu pada sektor pertanian, perikanan dan pertambangan sebagai sektor utama pembangunan.
Dan belum menjadikan sektor pariwisata sebagai salah satu sektor penopang ekonomi daerah. padahal jika melirik potensi pariwisata sulawesi tenggara merupakan “surga” yang telah dititip tuhan yang jika dipoles akan menjadi “tambang emas” bagi daerah, sekaligus “jalur sutera” pariwisata dunia.
Naskah dan Foto: Zainal Ishak & Yos Hasrul