Kendari, suarakendari.com-Banjir setinggi 1 sampai 2 meter menggenangi sejumlah pemukiman warga di Kota Kendari. Namun yang terparah berada di Kelurahan, Sodohoa dan Kelurahana Sanua, Kecamatan Kendari Barat, Kamis (5/3) pagi. Banjir ini adalah kali kedua setelah pada pekan yang sama merendam Kelurahan Kampung Salo berjarak sekira 3 KM dari dua kelurahan ini.
Banjir di permukiman padat penduduk ini terjadi akibat luapan air Kali Sodohoa setelah pada Rabu (4/3/2024) malam hujan deras membuat kawasan ini berstatus Siaga dimana air hujan itu mulai masuk pemukiman warga Kelurahan Sodohoa dan meluap ke permukiman pada pukul 01.00 WITA. Jadilah banjir bandang menggenangi permukiman tersebut serta memporak porandakan perbot rumah sakit Santa Anna Kendari yang lokasinya berada di sisi sungai Sodohoa.
Banjir kali ini juga merendam rumah sekolah dan sepanjang rumah yang berada di bantaran sungai hingga ke pinggir laut teluk kendari. Lokasinya yang tak jauh dari Kali Sodohoa mengakibatkan permukiman di sini menjadi langganan banjir.
Rumah-rumah warga di sini memang telah lama menjadi langganan banjir setiap kali musim hujan tiba. Rumah-rumah warga yang tidak dirancang untuk banjir menjadi pemandangan miris tiap kali bencana banjir menghampiri mereka. Sayangnya, pemerintah kota kendari belum memilikirkan adanya upaya membangun konstruksi anti bencana banjir untuk mengantisipasi bila banjir sewaktu-waktu datang.
Oleh karena itu, untuk meminimalkan risiko banjir, perumahan warga di sini mungkin sudah saatnya dibuat kontruksi panggung agar air bah bisa teratasi. Namun, untuk mewujudkannya, tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan, karena harus melakukan sosialisasi pada warga, itu pun jika warga bersedia, bahkan mungkin ditentang. Namun, jika melihat eskalasi bencana yang terjadi, seharusnya warga tak lagi menganggap banjir sebagai musibah biasa mengingat bencana serupa sudah rutin terjadi.
Sayangnya, fakta berkata lain, aktivitas warga pasca bencana masih berjalan normal seperti biasa.Warga lebih memilih bertahan di rumah masing-masing daripada mengungsi. Mereka menunggu air surut. Jika surut, pekerjaan sudah menanti, yakni membersihkan sampah serta lumpur dari dalam rumah.
Demikianlah salah satu sisi tantangan kehidupan warga di daerah rawan bencana alam. Warga setempat tampaknya sadar betul bahwa permukimannya rawan musibah atau bencana alam sehingga sudah punya pengalaman untuk bertahan saat musibah datang.
Padahal, peta Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa hampir tidak ada wilayah di Indonesia yang bebas dari potensi bencana. Hal itu dirasakan dalam kehidupan sehari-hari: bencana alam atau musibah terjadi seperti silih berganti.
Beragam platform media secara rutin menginformasikan kejadian bencana yang terjadi seperti susul-menyusul. Laman Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) secara real time 24 jam juga menyampaikan catatan gempa, dari yang berkekuatan ringan, sedang, hingga kuat atau tinggi. Data bencana di Kota Kendari pada pecan pertama Maret 2024 terdapat setidaknya 715 rumah warga terendam banjir dan dua korban meninggal dunia. Banjir bandang juga merusak satu rumah sakit dan satu rumah sekolah di Kendari.
Kearifan Lokal
Untuk mengantisipasi dan meminimalkan dampak yang ditimbulkan dari bencana alam mitigasi adalah salah satu cara yang harus dilakukan. Namun, tak bisa semata-mata mengandalkan teknologi. Misalnya, BMKG setiap saat mengeluarkan prakiraan cuaca. Selain cuaca, bisa juga diprakiraan intensitas hujan dan kecepatan angin serta gelombang perairan.
Analisis dari angka-angka prakiraan itu menghasilkan peringatan dini mengenai potensi banjir atau badai. Selain itu, juga kilat atau petir dan tinggi gelombang. Akan tetapi, harus diakui bahwa teknologi sampai saat ini belum ada yang bisa memastikan waktu terjadinya bencana alam, seperti gempa bumi, tsunami, dan tanah longsor. Pada masa lalu warga memitigasi potensi bencana alam dari gejala-gejala alam.
Kenyataan menunjukkan bahwa letusan suatu gunung selain bisa diperkirakan dengan seismograf juga biasa dideteksi dari turunnya hewan-hewan liar dari puncak gunung ke permukiman penduduk di lerengnya.
Hewan-hewan itu turun karena adanya aktivitas gunung, baik kegempaan maupun peningkatan suhu. Turunnya hewan liar juga biasa diinterpretasikan sebagai pertanda bahaya yang juga dianggap seolah sedang memberi tahu warga di lerengnya.
Jika situasi itu terjadi, penduduk harus segera mengungsi atau diungsikan ke tempat aman. Pada letusan Merapi dan Kelud beberapa waktu lalu juga terjadi demikian.
Pada gejala tertentu akan terjadinya tsunami, kadang air laut surut. Maka, warga di permukiman dekat pantai harus bersiap mengungsi, bukan sebalik justru mendekat ke pantai yang surut untuk memunguti ikan.
Disosialisasikan
Sampai sekarang tak sedikit kebiasaan lama masyarakat masih dinilai efektif untuk mendeteksi terjadinya gejala-gejala alam sebelum bencana alam melanda. Sosialisasi secara turun-temurun perlu terus dilakukan.
Kebiasaan masyarakat yang kemudian menjadi kearifan lokal harus dibangun. Contohnya masyarakat yang hidup di wilayah rawan gempa menempatkan kaleng-kaleng bekas di dekat tempat tidur atau di kamar tidur. Kaleng-kaleng itu bisa menjadi alarm ketika ada bencana seperti gempa. Namun, kalengnya harus bersih dan tidak terlalu banyak agar tidak menjadi sarang nyamuk.
Demikian pula, dengan kebiasaan menanam pepohonan. Selain menjadikan udara lebih sejuk dan bersih dengan ketercukupan oksigen, juga potensial untuk menahan longsor di samping kayunya kelak bernilai ekonomi.
Pada kawasan yang rawan banjir sepanjang tahun, membangun infrastruktur penahan luapan air adalah salah satu cara. Membangun rumah panggung, misalnya, juga solusi di samping opsi merelokasi warga lokasi aman.
Intinya pendeteksian terjadinya bencana alam tidak boleh terlalu mengandalkan teknologi semata karena bisa saja peralatan yang telah disiapkan justru tidak berfungsi atau rusak akibat bencana.
Salah satu upaya mitigasi bencana untuk memperkecil risiko kerusakan dan jatuhnya korban saat terjadinya bencana alam, yaitu dengan membangun kembali kearifan lokal yang ada di masyarakat.
Masyarakat khususnya yang bermukim di daerah rawan bencana telah memiliki cara-cara tersendiri dalam mendeteksi terjadinya bencana alam. Artinya, tidak boleh tergantung pada teknologi semata karena ketika ada bencana bisa jadi teknologi tidak berfungsi. Dalam sebuah bencana alam banyak warga yang selamat karena evakuasi yang cepat dilakukan. Pemahaman ini yang harus dibangun.
Menyadari peta potensi bencana alam yang merata di negeri ini maka mitigasi dan kesiapsiagaan jangan sampai terlambat. Di sisi lain kearifan lokal perlu terus disosialisasikan dari generasi ke generasi sebagai bagian dari upaya meminimalkan dampak dan korban bencana. SK
Dokumentasi Foto: Humas Kota Kendari