Environment

Jejak Anoa di Kawasan Hutan Konservasi Sulawesi Tenggara

×

Jejak Anoa di Kawasan Hutan Konservasi Sulawesi Tenggara

Sebarkan artikel ini

Jauh di jantung hutan lambusango, Kabupaten Buton, lima belas tahun silam, peneliti Asri Dwiyahreni melakukan serangkaian riset atas hewan dilindungi anoa di kawasan hutan ini, dan  Ia masih menemukan jejak-jejak  yang menunjukan kelimpahan anoa di kawasan tersebut.

Anoa disurvei dengan menghitung set trek independen pada transek 3 km. Detail dari metode dan lokasi diberikan dalam laporan Operasi Wallacea LIPI 2004. Masing-masing empat transek dari enam lokasi yang disurvei dan jumlah jejak anoa di setiap transek dihitung.

Anak anoa d kawasan konservasi Anoa Breeding Centre Menado. Proferty foto milik Anoa Breeding Centre Menado/ KLHK

Total upaya dihitung berdasarkan jumlah total km berjalan selama survei. Sama teknik diterapkan untuk menghitung jejak sapi dan jejak manusia. Kelimpahan rata-rata trek dan jejak manusia dihitung setiap 250 meter. Sampel feses dikumpulkan pada transek ini dan dari jalur recce berjalan di antara transek.

Hasil survei tahun 2006  menunjukkan, bahwa, kamp Wabalamba mendukung jalur anoa tertinggi kelimpahan dan kamp Lapago adalah yang terendah. Area dengan kelimpahan jejak manusia tertinggi adalah Wabalamba dan yang terendah adalah Lapago. Sapi tercatat hanya berada di kamp Wahalaka dan kamp Anoa.

Berbeda dengan data tahun sebelumnya, kelimpahan jejak anoa pada tahun 2006 lebih besar di daerah dengan lebih banyak jejak manusia. Namun, anoa tampaknya menghindari daerah dengan tinggi kelimpahan jejak sapi meskipun kelimpahan jejak sapi juga berkorelasi positif dengan frekuensi jejak manusia.

Kepadatan jalur anoa dan sapi liar serta kepadatan jalur manusia (angka rata-rata per 250 m) per kamp node.

Sampel feses dikumpulkan dari semua kamp sesuai dengan trek yang berlimpah dari 6 kamp node, jumlah sampel tertinggi dikumpulkan di Wabalamba dan terendah di Lapago.

Selama dua bulan (Juli dan Agustus) musim Operasi Wallacea 2006, 5 anoas (dua dengan bayi) telah terlihat di hutan Lambusango. Tidak ada pertemuan dengan pemburu tahun itu.

Jejak kelimpahan anoa di kawasan hutan lainnya di Sulawesi Tenggara diperkirakan makin menurun seiring perubahan tata ruang wilayah dan banyaknya aktifitas perburuan liar, deforestasi dan maraknya ijin tambang dan perkebunan kelapa sawit.  Ditambah makin susutnya dukungan dana dari pemerintah menjadi hambatan utama dalam membangun pusat penyelamatan anoa. Hal ini berdampak pada anoa yang menjadi maskot daerah Sulawesi Tenggara, bahkan  dikhawatirkan terancam punah di habitat aslinya.

Upaya Konservasi

Penulis Riza Salman di situs berita Ekuatorial.com  mengulas seputar upaya konservasi Anoa di  daerah berjuluk bumi  anoa ini. Untuk meningkatkan usaha konservasi Anoa di habitatnya, diperlukan strategi dan rencana aksi sebagai kerangka kerja bagi pihak terkait, dalam menyusun program penanganan secara terpadu. Perlindungan dan penyelamatan kedua species Anoa ini tertuang, dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. 54 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Anoa (Bubalus Depressicornis dan Bubalus Quarlesi) tahun 2013-2022.

Dalam PERMENHUT itu dijabarkan program konservasi eks-situ berfungsi sebagai pendukung populasi in-situ (habitat asli). Untuk mencapai ini diperkirakan 90 persen keragaman genetiknya harus dipertahankan dalam kurun waktu 100 tahun kedepan.

Namun hingga kini, target mengembangbiakkan 60 ekor Anoa hingga mencapai populasi anoa eks-situ sampai dengan 300 individu, sesuai dengan IUCN (International Union For Conservation of Natural Resource) Conservation Breeding Specialist Group, belum terealisasi.

Prianto,  Kepala Konservasi Wilayah I BKSDA Sultra mengatakan, kurangnya dukungan dana dari pemerintah menjadi hambatan utama dalam membangun pusat penyelamatan anoa. Hewan yang menjadi maskot daerah Sulawesi Tenggara ini dikhawatirkan terancam punah di habitat aslinya.

Dalam PERMENHUT tersebut tertulis Indikator dan standar kinerja program Pendanaan yang Berkelanjutan adalah meningkatnya alokasi dana untuk konservasi di Sulawesi sampai dengan 10 juta USD mulai tahun 2013, meningkatnya pemanfaatan dana untuk konservasi anoa, penggunaan dana dari jasa lingkungan pada setidaknya satu area prioritas/tahun mulai tahun 2015, dan adanya dana tersedia minimal untuk 14 kawasan prioritas.

“Anggaran belum memadai. Untuk melestarikan anoa butuh beberapa perlakuan, diantaranya memonitor perkembangan populasi memerlukan sarana dan prasarana seperti kamera trap yang saat ini tersebar sebanyak 19 unit,” kata Prianto.

Jumlah itu masih dinilai kurang untuk dapat memonitor populasi anoa secara efektif. “Belum cukup, idealnya di tiap tempat yang menjadi perlintasan anoa harus di pasang kamera trap. Makanya kita bertahap dalam pengadaan kamera trap,” tegas Prianto, yang menambahkan belum dapat memastikan angka pasti berapa jumlah kamera trap yang dibutuhkan. Untuk saat ini kebutuhan disesuaikan di lokasi monitoring anoa.

BKSDA Sultra memiliki empat situs monitoring populasi anoa yang berjumlah 197 ekor. Satwa tersebut tersebar di Blok Hutan Tanjung Gomo SM. Tanjung Peropa 43 ekor, di Blok Hutan Tambeanga Tanjung Peropa 37 ekor, di Blok Hutan Eelahaji SM Buton Utara 77 ekor, dan di Blok Hutan Betau Ronta SM. Buton Utara 40 ekor.

Populasi anoa memang bertambah, namun dengan sangat lambat. Basis data pemantauan anoa tahun 2013 mendata sebanyak 179 ekor, dan tahun 2019 terdata 197 ekor. Metode yang digunakan dalam monitoring yaitu jalur (line transect), salah satu alat analisis yang digunakan dalam penghitungan populasi anoa.

“Kita akan menambah site-site pengamatan anoa, kemudian memperkaya pemulihan habitat anoa tersebut, serta membuat Kawasan Ekologis Esensial untuk koridor anoa,” jelas Prianto.

Sampai tahun 2020, pihaknya mengaku sudah mengimplementasikan PERMENHUT No.54 tahun 2013, meskipun belum semua hal terealisasi akibat faktor-faktor eksternal. Kendala BKSDA ialah bahwa indikator kinerja dalam PERMENHUT yang berasal dari pihak eksternal membutuhkan konsultasi rutin.

“Faktor eksternal sarana-prasarana pendukung dan biaya, seperti kamera trap, pembangunan menara pengamatan, laboratorium, pusat konservasi anoa dan lain-lain yang semua membutuhkan biaya,” jelas Prianto.

Untuk faktor internal, kapasitas Sumber Daya Manusia masih kurang, perlu ditingkatkan. Diantaranya dengan pelatihan peningkatan kemampuan teknis-pengetahuan tentang anoa. BKSDA juga intens membahas hasil-hasil yang sudah dicapai dalam kegiatan monitoring anoa, pada lingkup tingkat Balai.

“Kalau secara pribadi menurut saya harus di evaluasi lagi PERMENHUT ini, karena kurangnya peran para pihak khususnya Pemda, NGO dan masyarakat. Ini untuk di Sultra lho ya” jelas Prianto. SK

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *