Kembali Menjelajah pulau-pulau di Sulawesi Tenggara yang kaya sejarah dan tradisi budaya. Kali ini Saya menginjakkan kaki di Pulau Muna, tempat terbaik untuk mempelajari sejarah masa lampau dan tradisi budaya. Dan Kabupaten Muna Barat adalah daerah tujuan utama Saya.
Saya ingin melihat langsung satu tradisi budaya yang menurut Saya masih lestari, yakni , tradisi Pogihara Adhara, atau tradisi perkelahian kuda. Tradisi sarat makna ini konon tak ada di belahan dunia lain.
Bagi orang Muna, perkelahian atau adu kuda memiliki makna filosofis tentang harga diri yang harus dipertahankan. Dalam situasi normal, kuda jantan tidak akan tampak tenang jika pasangannya tak diganggu. Namun, sebaliknya, ia akan berjuang mati-matian membela pasangannya jika diganggu kuda lain. Filosofi lainnya adalah mengajarkan ketelatenan dan simbol kewaspadaan dalam menjalani kehidupan.
Pawang Kuda
Di Muna, orang yang menjadi pawang kuda hanya bisa dihitung jari. Dan berbicara soal pawang tentu kita akan selalu mengingat nama La Ode Abdul Karim. Beliau boleh dibilang legenda pawang kuda yang pernah ada karena kerap memimpin perhelatan atraksi tradisional perkelahian kuda di Muna. Dan kini tradisi pawang menurun pada putranya, La Ode Abjina yang kini telah berusia lanjut.
Menjadi pawang bukanlah perkara mudah, karena seorang pawang harus benar-benar paham tentang seluk beluk hewan satu ini dan tentu saja cara tehnik melerai pertarungan. Seorang pawang harus memastikan kuda yang dapat diadu hanyalah kuda jantan dan telah berusia dewasa. Biasanya kuda jantan telah memasuki usia dewasa dapat diketahui dari gigi tarung sang kuda.
Kuda yang yang bertarung ibaratnya petinju dalam arena. Gigitan, tendangan dan saling menyeruduk menjadi tantangan bagi seorang pawang dalam mewasit jalannya pertarungan.
Para pawang tentu punya tehnik membuat dua kuda jantan berkelahi, yakni dengan memisahkan kuda jantan dari betina masing-masing. Kuda-kuda itu lalu didekatkan ke kuda yang bukan pasangannya hingga menyulut kemarahan kuda kuda jantan dan saat itulah kita akan melihat kerasnya pertarungan kuda.
Dalam perkelahian kuda, pawang memegang peranan penting untuk mengawasi jalannya pertarungan. Ada pula yang bertugas memegang tali untuk mengontrol kuda agar tak berlarian liar. Jika salah satu kuda terpojok oleh serangan lawan, pawang harus segera melerai untuk mencegah dampak fatal bagi kuda tersebut.
Pawang punya peran sentral keselamatan penonton yang menyaksikan adu kuda karena tidak adanya batas pengaman yang memisahkan kuda dan warga yang menonton. “Kalau ada kuda yang lari ke arah penonton, pawang harus segera mengendalikan dan disini dibutuhkan keterampilan khusus me sebagai pawang,”cerita warga.
Keahlian menjadi pawang sangat penting untuk menjamin keselamatan sang pawang sendiri. Sebab jika tidak bisa terkena sepakan kuda yang terkenal ganas di arena. Sebagai penonton Saya pun diwanti wanti untuk selalu waspada dan tahu di mana mesti berdiri agar tidak kena tendangan atau gigitan kuda yang ganas.
Perkelahian kuda memang acara yang cukup langka bisa disaksikan. Penyelenggaraannya hanya momen tertentu saja, seperti festival budaya dan acara khusus pemerintah daerah. Kondisi yang jauh berbeda di jaman dulu dimana warga kerap melakukan pertunjukan perkelahian kuda.
Warga menyebut era 1970-an menjadi puncak mengikisnya tradisi perkelahian kuda di Muna bersamaan dengan kebijakan pemerintah yang memindahkan penduduk desa berlahan gersang di Muna ke tempat baru. Di seluruh Pulau Muna, tradisi itu tersisa di Kecamatan Lawa saja khususnya Desa Latugho seiring makin berkurangnya populasi kuda Muna .
Kabupaten Muna Barat sendiri dikenal sebagai daerah pengembangan agrowisata di Pulau Muna dan serta daerah pengembangan wisata sejarah karena peninggalan sejarah berupa benteng-benteng tua masa kerajaan terutama di wilayah Kecamatan Tiworo Kepulauan. SK